Demikian disampaikan Handi Risza, Wakil Rektor Universitas Paramadina di Jakarta, Minggu (21/8/2022) dalam menanggapi rencana pemerintah untuk menaikkan harga BBM bersubsidi jenis Pertalite dan Solar dalam beberapa waktu kedepan.
“Kebijakan ini tentu tidak bisa dilepaskan dari beban subsidi yang ditanggung Pemerintah mencapai Rp 578,1 triliun, akibat kenaikan harga minyak dipasar Internasional dan biaya kompensasi yang harus ditanggung Pemerintah. Tetapi, kebijakan ini tentunya akan memiliki dampak yang signifikan bagi kehidupan Masyarakat banyak,” katanya.
Kenaikan harga BBM bersubsidi jenis Pertalite dan Solar tersebut lanjut Handi, akan berimbas kepada kenaikan harga-harga barang, baik yang berdampak langsung maupun tidak langsung.
Handi mengungkapkan bahwa tingginya harga komoditas di pasar internasional telah menyebabkan inflasi secara global di banyak negara.
“Inflasi tahunan sudah hampir menembus 5% year on year (yoy), atau berada pada level 4,94% yoy. Bahkan inflasi makanan telah mencapai angka 10,32% (yoy). Jika terjadi kenaikan harga BBM bersubsidi dalam pekan depan, maka bisa dipastikan angka inflasi akan bergerak naik. Dampaknya tentu akan sangat memberatkan bagi kehidupan masyarakat kebanyakan," lanjutnya.
Handi juga menyoroti perihal mulai pulihnya kehidupan masyarakat pasca melandainya Covid-19, yang membuat aktivitas ekonomi kembali pulih.
Walaupun pertumbuhan ekonomi Triwulan I dan II tumbuh sebesar 5,01% dan 5,44%, masih ditopang oleh tingginya ekspor komoditas, tetapi konsumsi masyarakat juga menunjukkan pergerakan yang signifikan.
Kenaikan harga BBM bersubsidi, dikhawatirkan akan memukul kembali daya beli dan konsumsi masyarakat, sehingga berdampak terhadap pemulihan ekonomi yang sedang berlangsung, bahkan pertumbuhan ekonomi dikhawatirkan akan kembali melambat.
Menurutnya, rencana kenaikan harga BBM bersubsidi tersebut akan memberikan pengaruh yang besar bagi kalangan dunia usaha, terutama sektor UMKM dan usaha kecil informal lainnya yang seringkali tidak tersentuh oleh program bantuan sosial Pemerintah.
Selama ini, sebagian besar sektor UMKM dan informal tersebut memanfaatkan BBM bersubsidi dalam menjalankan usahannya.
“Apalagi sebelumnya mereka juga sudah terkena dampak dari kenaikan harga Minyak Goreng. Kenaikan BBM bersubsidi dikhawatirkan akan semakin membuat pengusaha UMKM dan informal lainnya semakin terpuruk, dikhawatirkan angka kemiskinan dan pengangguran akan semakin meningkat," ungkap Handi.
Untuk saat ini, saran Handi, dengan mempertimbangkan proses pemulihan ekonomi yang sedang berlangsung.
"Pemerintah sebaiknya membuat kebijakan pengendalian BBM bersubsidi, dengan membatasi penggunaan BBM bersubsidi untuk kalangan tertentu saja, Angkutan Umum, Sepeda Motor dengan cc kecil. Pemerintah selalu mencari jalan pintas dalam menghadapi tingginya harga energi. Sebagai contoh, sampai saat ini, Pemerintah belum bisa mengendalikan penjualan LPG 3 Kg secara tertutup, sebagaimana amanah konstitusi, akibatnya subsidinya selalu meningkat setiap tahunnya," terangnya.
Subsidi adalah salah satu bentuk keberpihakan Pemerintah terhadap masyarakat banyak.
Besaran subsidi dan kompensasi energi dalam APBN 2023 direncanakan sebesar Rp 336,7 triliun. Rinciannya adalah Rp 210,7 triliun untuk subsidi energi dan Rp 126 triliun untuk kompensasi energi.
Artinya Pemerintah sudah memprediksi harga minyak akan kembali dibawah 100 USD per barel.
“Turunnya harga minyak global, tidak lantas membuat harga BBM juga mengalami penurunan. Sehingga masyarakat menanggung beban yang besar dalam menggunakan BBM yang seharusnya disesuaikan dengan harga minyak secara global," pungkasnya. (*)