PROGRAM kompor listrik diyakini pemerintah sebagai solusi atas ketergantungan publik terhadap gas yang saat ini subsidi LPG membengkak. Namun program ini diyakini terlalu terburu-buru tanpa suatu perencanaan yang matang.
Pemerintah berencana melakukan konversi LPG 3 kg ke kompor listrik dengan uji coba di Solo dan Denpasar dengan memberikan 300 ribu kompor induksi kepada rumah tangga yang terdaftar di Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS).
Namun kompor listrik tersebut didesain menggunakan Miniatur Circuit Breaker (MCB) berdaya 3.500 watt, padahal rumah tangga DTKS tersebut pengguna daya 450 VA.
Ribet dan Banyak Ketidakjelasan
Sekjen ESDM menjelaskan bahwa rumah tangga penerima kompor tersebut akan mendapat kompor, alat masak, dan kenaikan daya listrik sekaligus tambahan sambungan khusus hanya untuk kompor listriknya.
Kementerian ESDM tak merinci lebih lanjut per item dan biaya yang ditanggung pemerintah dalam program tersebut.
Ini menjadi pertanyaan publik soal biaya program tersebut dan terindikasi adanya permainan bisnis antara vendor kompor, vendor alat masak, vendor kelistrikan, perusahaan PLN dan ESDM dan oknum policy makers lainnya.
Pimpinan PLN menjelaskan bahwa "Untuk kompor induksi, kami memakai MCB jalur khusus, enggak tersambung dengan pola konsumsi listrik golongan tarif lama". Pernyataan ini mengesankan program kompor listrik menjadi ribet dan kompleks.
Bayangkan program kompor listrik diperuntukkan untuk masyarakat miskin DTKS yang sehari-hari mereka menggunakan daya 450 VA namun tiba-tiba mereka memiliki jalur khusus yang daya-nya berbeda hanya untuk kompor listik saja. Sungguh aneh!
Sementara jika sasarannya adalah masyarakat kelas bawah yang hanya menggunakan daya listrik 450VA maka kemungkinannya penyaluran 300 ribu kompor listrik ini menjadi tidak tepat sasaran karena kompor tersebut hanya bisa digunakan oleh rumah tangga yang menggunakan daya besar. Tentunya ketidakjelasan ini mengindikasikan perencanaan yang kurang matang.
Beberapa hari yang lalu sempat ada polemik atas penghapusan daya listrik 450 VA dinaikan menjadi 900 VA yang pada akhirnya di anulir oleh Presiden Jokowi bahwa pemerintah tidak akan menghapus daya listrik 450 VA.
Publik mengkritik kebijakan tersebut karena daya beli masyarakat masih lemah dan tidak semua keluarga membutuhkan daya listrik yang besar.
Jika dinaikkan walaupun ada subsidi tapi tetap akan lebih naik dari biasanya.
Jika memang ada program pembagian paket lengkap 300 ribu unit kompor listrik seharga Rp 1,8 juta yang diakui oleh Menteri ESDM Arifin Tasrif dengan dalih bahwa program tersebut untuk menyiasati kelebihan pasokan listrik yang di-suplay dari produsen listrik swasta (IPP), maka hal tersebut mengonfirmasi bahwa wacana penghapusan daya listrik 450 VA ini tentunya sudah dibicarakan oleh pemerintah dan Banggar menyuarakannya di DPR.
Tidak Solutif Membangun Ketahanan Energi Berkelanjutan
Dahulu, saat kompor minyak tanah dikonversi menjadi kompor gas alasan yang digunakan pemerintah adalah Indonesia memiliki kelebihan pasokan gas dari tambangnya dalam negeri sehingga diyakini penggunaan gas akan memperkuat ketahanan energi.
Nyatanya, gas untuk kompor LPG ternyata impor yang kemudian memberatkan APBN. Selanjutnya munculkah ide penggunaan kompor listrik untuk menggantikan kompor gas. Lagi, alasannya Indonesia memiliki kelebihan pasokan listrik.
Sebelum mengulangi kesalahan yang sama, sebaiknya pemerintah dalam hal ini kementerian ESDM menghitung kembali apa benar kelebihan pasokan listrik tersebut akan berlangsung lama dan berkelanjutan.
Hal ini penting karena ada fakta bahwa listik di Indonesia didominasi bukan dari energi terbarukan seperti energi matahari, energi angin melainkan masih dari batu bara.
Dalam catatan PT PLN (Persero) tahun 2021-2022 ini sumber listrik RI 61 persen berasal dari batu bara yang dibakar untuk menggerakan turbin PLTU.
61 persen sumber listrik RI dari batu bara sangat tidak mendukung ketahanan energi. Idealnya penggunaan batubara dan bahan bakar fosil lainnya harusnya di bawah 5%.
PLN memiliki renstra sebelum adanya program kompor listrik dimana pada tahun 2030, kapasitas terpasang pembangkit listrik mencapai 99,2 Giga Watt (GW). Sumber listriknya berasal dari 45% batu bara. Sementara, pembangkit gas 26%, PLTA 15%, PLTP 6%, PLTS 5%, PLT EBT 2% dan PLT EBT Base 1%.
Ini menunjukkan batu bara dominan menjadi sumber listrik nasional dan patut diingat bahwa Indonesia punya komitmen netral karbon atau net zero emission di tahun 2060.
Penggantian kompor gas menjadi kompor listrik di saat listrik nasional didominasi sumber batu bara akan menjadikan langit Indonesia semakin hitam karena efek bakar dari batubara tersebut.
Listrik nasional masih dikenal sebagai listrik kotor dimata dunia. Ini sama saja daripada kompor listrik lebih baik menggunakan kompor batu bara (bracket) saja, bukan? Soalnya sumber utama listriknya dari batu bara.
Tujuan memperkuat ketahanan energi nasional yang berkelanjutan dari program kompor listrik tersebut sama sekali tidak relevan malah sebaliknya akan melemahkan ketahanan energi nasional berkelanjutan karena muncul emisi kotor akibat listrik kotor tidak diselesaikan.
Indonesia menuju netral karbon atau net zero emission di tahun 2060 akan terasa berat. Kenyataannya energi listrik tanah air masih akan menggunakan bahan bakar fosil yakni batu bara. rmol.id
OLEH: ACHMAD NUR HIDAYAT
Penulis adalah Pengamat Kebijakan Publik Narasi Institute
Sumber: rmol