Arab Saudi dan Iran sepakat untuk memulihkan kembali hubungan diplomatiknya setelah terputus dalam 6 tahun terakhir. Kesepakatan pemulihan hubungan keduanya ini disepakati di Beijing, China, pada Jumat (10/3/2023), dengan ditengahi diplomat paling senior negara itu, Wang Yi.
Rekonsiliasi terjadi ketika Iran mendapati dirinya semakin terisolasi di panggung dunia dan Arab Saudi mengubah arah kebijakan luar negerinya demi diplomasi ekonomi. Dalam beberapa tahun terakhir, Riyadh dan tetangganya, Uni Emirat Arab (UEA) bergerak untuk memperbaiki hubungan dengan sebagian besar musuh regional mereka.
Sebelum duta besar dipekerjakan kembali, kedua negara kemungkinan besar akan mendiskusikan cara untuk mengakhiri permusuhan diantara mereka. Pasalnya, kedua negara bahkan terlibat dalam 'perang dingin' yang terjadi di Timur Tengah.
Dengan adanya situasi ini, kesepakatan damai pun memiliki implikasi pada setiap konflik di kawasan. Berikut efek perdamaian Arab Saudi-Iran seperti dirangkum dari CNN International, Selasa (14/3/2023):
1. Yaman
Yaman telah menjadi salah satu negara yang paling terpengaruh oleh pertengkaran Riyadh dan Teheran. Kedua negara mendukung faksi yang berlawanan dalam perang saudara Yaman 2014, dan pada 2015, koalisi pimpinan Saudi turun tangan untuk melawan pemberontak Houthi yang didukung Iran yang telah menguasai negara itu.
Meski begitu, negara itu telah menyaksikan ketenangan yang relatif setelah gencatan senjata bulan April tahun lalu yang ditengahi oleh PBB. Gencatan senjata itu berakhir pada bulan Oktober tetapi tampaknya tetap berlaku dan Arab Saudi telah terlibat dalam pembicaraan langsung dengan Houthi.
"Perang Yaman kemungkinan besar menjadi prioritas dalam agenda kedua negara," kata Firas Maksad, rekan senior di Institut Timur Tengah di Washington, DC dan asisten profesor di Universitas George Washington.
Hussein Ibish, seorang sarjana residen senior di Arab Gulf States Institute di Washington, DC, mengatakan kepada CNN bahwa Iran dapat menggunakan pengaruhnya terhadap Houthi untuk mendorong resolusi perang.
"Sangat mungkin Teheran harus berkomitmen untuk menekan sekutunya di Yaman agar lebih terbuka dalam mengakhiri konflik di negara itu, tetapi kami belum tahu pemahaman di balik layar apa yang telah dicapai," katanya.
Seorang anggota sayap politik Houthi, Abdulwahab Al Mahbashi, mengatakan kepada TV Lebanon al-Mayadeen bahwa penyelesaian konflik Yaman harus dicapai melalui negosiasi langsung dengan Riyadh karena Houthi bukan 'bawahan' Iran.
2. Lebanon
Lebanon telah menderita krisis keuangan yang melumpuhkan. Sekutu Arab terdekat pimpinan Arab Saudi telah melepaskan diri negara itu setelah peperangan selama bertahun-tahun yang dipicu oleh pengaruh kelompok Hizbullah sokongan Iran di negara itu.
Hubungan mencapai titik terendah pada 2021, ketika Arab Saudi dan beberapa sekutu Teluk Arabnya menarik duta besar dari Beirut menyusul kritik sebelumnya dari Menteri Informasi Lebanon saat itu terhadap perang koalisi yang dipimpin Saudi di Yaman.
Utusan kemudian kembali, namun hubungan Saudi-Lebanon masih membeku.
Baik Hizbullah dan Perdana Menteri sementara Lebanon Najib Mikati memuji kesepakatan Saudi-Iran, dengan Mikati menyebutnya sebagai 'kesempatan untuk bernapas di wilayah tersebut, dan melihat ke masa depan'.
Namun, para analis mengatakan itu tidak berarti hubungan Lebanon dengan Riyadh akan membaik secara otomatis.
Menteri Luar Negeri Saudi Pangeran Faisal bin Farhan pada hari Jumat mengatakan bahwa Lebanon membutuhkan 'pemulihan hubungan ala Lebanon' dan bukan 'pemulihan hubungan Saudi-Iran'. Jawaban ini dirasa menunjukkan bahwa Arab Saudi mungkin memisahkan keluhannya dengan Lebanon dari konfliknya dengan Iran.
"Lebanon tidak menjadi prioritas utama pembuat kebijakan di Riyadh," kata Firas Maksad.
"Ada lebih banyak isu konsekuensial di Riyadh yang harus diperhatikan sebelum menangani tantangan di Lebanon," tambahnya.
3. Israel
Rekonsiliasi juga telah mencapai debat politik domestik Israel. Beberapa jam sebelum kesepakatan diumumkan, Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu berada di Italia, memuji salah satu tujuan utamanya yakni normalisasi dengan Arab Saudi.
Bagi Israel, perdamaian dengan Arab Saudi dipandang sebagai puncak dari perjanjian normalisasi. Meskipun hubungan di belakang layar telah berlangsung selama bertahun-tahun, perdamaian penuh akan menjadi pencapaian besar, dan salah satu elemen kunci dalam membentuk aliansi regional untuk melawan Iran.
Kemudian kenyataan muncul pada hari Jumat bahwa musuh lama dan utama Israel, Iran, dan calon sahabat Netanyahu berikutnya, Saudi, sedang berdamai. Dan permainan menyalahkan dimulai dalam pendirian politik Israel.
Surat kabar Israel Haaretz mengutip "sumber politik senior di Roma" yang tidak disebutkan namanya menyalahkan pemerintah sebelumnya, yang dipimpin oleh Naftali Bennett dan Yair Lapid atas rekonsiliasi ini.
Pada gilirannya, Lapid dan Bennett mengatakan Netanyahu telah mengabaikan situasi di Timur Tengah yang lebih luas, sebagai gantinya berfokus pada upaya pemerintahnya untuk melakukan perombakan peradilan yang kontroversial.
"Semua ini terhenti ketika pemerintah paling ekstrem dalam sejarah negara itu didirikan di sini dan menjadi jelas bagi Saudi bahwa Netanyahu lemah dan Amerika berhenti mendengarkannya," cuit Lapid.
"Negara-negara di dunia dan kawasan menyaksikan Israel berkonflik dengan pemerintahan disfungsional yang terlibat dalam penghancuran diri secara sistematis," cuit Bennett di utasnya sendiri.
Netanyahu tidak menyebutkan kesepakatan itu dalam sambutannya menjelang pertemuan mingguan Kabinet Israel pada hari Minggu, dan Kementerian Luar Negeri Israel mengatakan tidak mengomentari perkembangan tersebut.
4. Irak
Irak, yang menjadi tuan rumah beberapa putaran pembicaraan antara Iran dan Arab Saudi, dengan cepat menyambut baik rekonsiliasi tersebut. Analis mengatakan itu adalah kepentingan Baghdad untuk rekonsiliasi karena negara itu telah menjadi arena persaingan Iran-Saudi sejak jatuhnya rezim Saddam Hussein pada tahun 2003.
"Iran telah menggunakan Irak untuk menambah tekanan ke Arab Saudi di semua bidang, termasuk tekanan politik, ekonomi, dan khususnya keamanan," kata Ihsan Al-Shammari, seorang profesor politik di Universitas Baghdad dan kepala Pusat Pemikiran Politik Irak.
Irak, katanya, melewatkan peningkatan hubungan dengan Arab Saudi dan potensi investasi besar di negara itu karena pengaruh besar Iran di negara itu. Bahkan, partai-partai yang berpihak pada Iran telah lama memiliki pengaruh dalam politik Irak dan terkadang menyebabkan kebuntuan politik yang berujung pada kekerasan.
5. Perang media
Arab Saudi dan Iran telah bertahun-tahun terlibat dalam perang media yang pahit, di mana outlet berita yang diduga didukung oleh masing-masing pemerintah dituduh menghasut satu sama lain.
Saluran berita berbahasa Arab yang didukung pemerintah Iran, Al Alam dan Press TV berbahasa Inggris, secara teratur menjalankan program yang kritis terhadap Arab Saudi dan diblokir di sebagian besar dunia Arab.
Di sisi lain, Arab Saudi pada gilirannya dituduh oleh Iran mendanai Iran International, saluran berita berbahasa Farsi yang secara teratur mewawancarai musuh Teheran dan meliput protes terhadap pemerintah. Iran telah menyebut saluran itu sebagai 'organisasi teroris'.
Bagaimana perang media berlangsung akan menunjukkan kelangsungan perjanjian Iran-Saudi untuk menormalisasi hubungan. Analis mengatakan Arab Saudi telah berinvestasi di media berbahasa Persia untuk membangun pengaruh atas Iran.
The Wall Street Journal melaporkan pada hari Minggu bahwa Arab Saudi telah setuju untuk mengurangi liputan kritis terhadap Tehran oleh Iran International, mengutip pejabat tak dikenal dari kedua negara. Bulan lalu, Iran International mengatakan sedang merelokasi operasinya ke Washington dari London karena 'ancaman Iran'.
Sumber: cnbcindonesia
Foto: China Damaikan Saudi-Iran/AFP/-