Rusaknya Demokrasi Ketika ‘Rival’ ikut Gabung Kedalam Pemerintahan, Siapa Yang Salah? -->

Notification

×

Kategori Berita

Cari Berita

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Tag Terpopuler

Rusaknya Demokrasi Ketika ‘Rival’ ikut Gabung Kedalam Pemerintahan, Siapa Yang Salah?

Monday, September 18, 2023 | September 18, 2023 WIB | 0 Views Last Updated 2023-09-18T14:14:59Z

Kedepannya rival yang kalah di pilpres tidak boleh lagi gabung ke dalam pemerintahan, siapapun yang menang, kenapa? Agar sistem demokrasi dapat berjalan sebagaimana mestinya, sistem demokrasi tidak akan memberikan manfaat bagi rakyat jika yang kalah juga masuk dalam sistem pemerintahan.

"Jangan sampai rakyat Indonesia menilai Sistem Demokrasi hanya 'kedok' untuk merampok harta warisan Rakyat Indonesia. Tidak adanya check and balance terhadap jalannya roda pemerintahan, menimbulkan ketamakan dan kerakusan pejabat yang sedang berkuasa, sebab tidak ada kekuatan yang berimbang untuk mengontrol kebijakan pemerintahan yang sedang berjalan," ujar pengamat politik Direktur Eksekutif Lembaga Kajian Studi Masyarakat dan Negara (LAKSAMANA), Samuel F. Silaen kepada wartawan di Jakarta (18/9).

"Presiden dan wakil presiden bersama partai politik pendukung yang menang tidak boleh lagi 'mengajak atau merayu- rayu' untuk bergabung maka yang kalah wajib menjadi barisan oposisi yang sama mulianya dalam rangka mengawasi atau kontrol terhadap kebijakan pemerintah yang berkuasa," pinta alumni Lemhanas Pemuda 2009 itu.

"Di periode kedua Joko Widodo nyaris tak ada kontrol atau pengawasan dari barisan oposisi untuk mendorong terjadinya check and balance terhadap jalannya roda pemerintahan yang sedang berkuasa, kenapa? Karena yang kalah dikontestasi pemilu ikut masuk ke dalam pemerintahan Jokowi, maka terjadilah pat gulipat didalam pemerintahan," kritik Silaen.

"Ketika rival yang kalah ikut masuk ke dalam pemerintahan maka sudah tidak mungkin lagi melakukan oposisi kontrol atau pengawasan terhadap jalannya roda pemerintahan Jokowi saat ini. Itulah sebabnya penguasa bertindak 'otoriter' karena tidak ada barisan oposisi yang sama kuatnya," sesal Silaen.

"Kedepannya hal demikian tidak boleh lagi terjadi agar sistem demokrasi yang dipilih tersebut tidak sekedar selogan kosong yang tidak memberikan manfaat bagi rakyat Indonesia. Dalam sistem demokrasi yang sehat itu, maka dibutuhkan check and balance terhadap roda pemerintahan," ungkap mantan fungsionaris DPP KNPI itu. 

"Dapat dipastikan rakyat Indonesia sangat dirugikan dalam sistem demokrasi 'abal- abal' ini, bila yang kalah tidak menjalankan tugas dan fungsinya sebagai oposisi yang mendorong terjadinya check and balance terhadap kebijakan pemerintah yang sedang berkuasa," saran Silaen.

Lalu buat apa dilakukan pemilu yang habiskan anggaran keuangan negara yang begitu besar kalau tokh yang kalah dirayu atau dibujuk untuk gabung kedalam pemerintahan? Atau untuk apa berkompetisi kalau tokh yang kalah merengek- rengek minta masuk kedalam pemerintahan yang menang?

"Percuma saja pakai sistem demokrasi bila tidak dijalankan dengan baik, lantas apa bedanya dengan sistem kerajaan yang bercorak otoriter maka lebih baik dirubah saja menjadi sistem kerajaan! Supaya jelas jadi tidak membingungkan rakyat Indonesia," imbuhnya.

"Pemilu 2019 lalu cukup jadi pelajaran berharga untuk kepemimpinan republik Indonesia pada 2024 nanti. Jangan sampai terulang lagi maka tak dapat dibayangkan betapa dahsyatnya kerusakan yang ditimbulkan akibat cawe-cawe pemerintahan saat ini," tutur Silaen.

"Rakyat kecil yang menanggung beban yang paling berat dari kebijakan pemerintah yang nyeleneh atau zolim. Tak ada yang membela kepentingan rakyat kecil tersebut karena yang kalah dan menang berselingkuh didalam tubuh pemerintahan," beber Silaen.

"Lemahnya barisan oposisi dimanfaatkan kelompok yang sedang menikmati kekuasaannya, untuk mengeruk keuntungan sebesar- besarnya bagi kelompok yang sedang berkuasa, jadi rakyat Indonesia hanya kebagian remah-remahnya, sementara dagingnya dinikmati oleh segelintir kelompok saja," jelas aktivis organisasi kemasyarakatan pemuda (OKP) itu. 

Kasian banget rakyat Indonesia hanya dijadikan kayu bakar politik oligarki untuk mencapai tujuan didirikannya partai politik yang mereka tunggangi. Sementara rakyat Indonesia dipaksa pukul mundur bila menghambat tujuan dari kepentingan oligarki tersebut.

Lebih lanjut Silaen sebut, "Wahai rakyat Indonesia bersatulah untuk melakukan perlawanan atas kesewenangan yang diperbuat oleh penguasa zolim itu. Bila rakyat Indonesia tidak sadar dan bersatu maka akan mudah diombang-ambingkan oleh jargon politik yang dijanjikan oleh politikus yang sedang mencari dukungan dan simpati rakyat Indonesia."

"Tak dapat dipungkiri bahwa rakyat Indonesia sekarang bingung untuk menghukum partai politik mana? Karena partai politik yang berkuasa sekarang ini juga head to head ketika Pilpres 2019 lalu, namun dalam perjalanannya berselingkuh. Sehingga sulit untuk menyalahkan partai politik mana yang membuat Indonesia dikuras hartanya," tandasnya.

Foto: Direktur Eksekutif Lembaga Kajian Studi Masyarakat dan Negara (LAKSAMANA), Samuel F. Silaen

Iklan

×
Berita Terbaru Update
close