Sejumlah guru honorer yang menjadi korban dugaan kecurangan seleksi Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) di Kabupaten Langkat, Sumatera Utara (Sumut), kembali menggelar demonstrasi di Polda Sumut, Rabu (5/6/2024).
Dalam aksinya, mereka turut membawa keranda bertuliskan 'RIP Keadilan' dan 'RIP Polda', lalu meletakkannya di depan pintu masuk Polda Sumut. Massa mendesak agar polisi menahan dua orang yang menjadi tersangka dan mengungkap aktor intelektual terkait kasus kecurangan seleksi PPPK di Langkat.
"Kita aksi mendesak supaya dua tersangka ditahan, dan sejauh ini aktor intelektualnya belum ada disentuh atau dijamah oleh hukum baik itu ditetapkan tersangka atau hal lain," ujar Sofyan Gajah, kuasa hukum yang mendampingi 107 guru honorer di Polda Sumut.
Ia mengatakan, para guru honorer sangat kecewa atas proses penegakan hukum kasus kejanggalan seleksi PPPK di Langkat. Atas dasar itu, massa aksi turut membawa keranda sebagai simbol matinya keadilan.
"Itu merupakan kekecewaan kita dan pesimisnya kita terhadap Polda Sumut, keranda itu simbol dari matinya keadilan terhadap guru-guru PPPK Langkat yang sejauh ini hak-hak mereka di-marjinalkan," katanya.
"Kedua juga kita menuliskan RIP Polda Sumut, karena kita menilai kerja-kerja Polda Sumut sudah tidak obyektif lagi, kalaulah obyektif aktor intelektual dalam permasalahan PPPK Langkat ini sudah pasti ditangkap dan pasti sudah terkuak permasalahan ini," sambung Sofyan Gajah.
Aksi yang ketiga kalinya digelar di Polda Sumut ini, lanjut Sofyan, pihaknya mendesak agar polisi segera menuntaskan kasus seleksi PPPK di Langkat.
"Kita juga mendoakan aparat yang menangani kasus ini hatinya lebih dibukakan dan juga lebih diterangkan," tukasnya.
Tak lama menggelar aksi di siang hari dengan panas yang menyengat, Kanit III Subdit III Ditreskrimsus Polda Sumut AKP Rismanto Purba lalu menemui guru honorer yang berunjuk rasa.
AKP Rismanto mengatakan bahwa dalam proses penyidikan, penahanan itu bukanlah sesuatu keharusan.
"Dalam proses penyidikan penahanan itu sifatnya bukan imperatif, itu bukan harus. Ada pertimbangan subjektif dari penyidik dalam hal (seperti) mempersulit penyidikan, melarikan diri dan menghilangkan barang bukti," katanya.
Menurut AKP Rismanto, kedua orang yang ditetapkan tersangka yakni yakni bernama Awaluddin dan Rohayu Ningsih yang merupakan oknum kepala sekolah hingga saat ini masih wajib lapor ke Polda Sumut.
"Wajib lapor dipatuhi dan dilaksanakan, sampai hari ini sampai pada kesimpulan tidak dilakukan penahanan," katanya.
Rismanto mengatakan pihaknya juga akan melimpahkan berkas perkara kasus ini ke Jaksa. "Dalam dua minggu ini berkas perkara akan dikirim (ke Jaksa)," imbuhnya.
Terakhir, mantan Kasat Reskrim Polres Dairi ini menegaskan kasus kejanggalan seleksi PPPK Langkat ini sangat mungkin ada aktor intelektualnya.
"Kalau kami melihat pola yang terjadi dipastikan hal itu sangat mungkin. Tetapi ketika kita berbicara siapa yang ditangkap, kami tentu membutuhkan alat bukti, ada istilah alat bukti harus lebih terang dari cahaya, harus didasarkan dua alat bukti," tukasnya.
Sumber: suara
Foto: Guru honorer di Langkat menggelar aksi unjuk rasa membawa keranda mayat di Polda Sumut. [Suara.com/M Aribowo]