Foto: Ilustrasi |
Baru-baru ini, masyarakat Indonesia digegerkan dengan berita kasus prostitusi yang dibalut dengan nikah mut'ah (kontrak) di Cianjur. Kasus ini melibatkan dua pelaku yang berperan sebagai mucikari, yang menjebak seorang wanita remaja dan menjadikannya sebagai 'tunangan wanita'. Modus operandi mereka adalah dengan memanfaatkan nikah mut'ah untuk menutupi praktik prostitusi. Pelaku pertama bertugas mencari calon korban, sementara pelaku kedua mencari calon pelanggan. Kasus ini telah berlangsung sejak tahun 2019 dan termasuk dalam kategori Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) dengan modus kawin mut'ah.
Sejarah dan Kontroversi Nikah Mut'ah dalam Islam
Diskursus mengenai nikah mut'ah memiliki proses hukum yang panjang dalam sejarah Islam. Pada awalnya, Rasulullah SAW memperbolehkan umat Islam untuk melangsungkan akad nikah dengan kurun waktu tertentu. Sebagaimana disebutkan dalam sebuah hadits:
جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ وَسَلَمَةَ بْنِ الْأَكْوَعِ قَالَا كُنَّا فِي جَيْشٍ فَأَتَانَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ إِنَّهُ قَدْ أُذِنَ لَكُمْ أَنْ تَسْتَمْتِعُوا فَاسْتَمْتِعُوا
"Jabir bin Abdillah dan Salamah bin ‘Akwa berkata: Pernah kami dalam sebuah peperangan, lalu datang kepada kami Rasulullah SAW, dan berkata: Telah diizinkan bagi kalian nikah mut'ah maka sekarang mut'ahilah." (HR. Bukhari)
Namun, kebolehan ini kemudian mengalami perubahan hukum (nasakh). Pada akhirnya, nikah mut'ah menjadi haram dalam Islam. Sebagaimana diriwayatkan dalam hadits lain:
حدثنا ابن أبي عمر حدثنا سفيان عن الزهري عن عبد الله والحسن ابني محمد بن علي عن أبيهما عن علي بن أبي طالب : أَنَّ النَّبِيَّ صَلى الله عليه و سلم نَهَى عَن مُتْعَةِ النِّسَاءِ وَعَنْ لُحُوْمِ الْحِمَرِ الْأهْلِية زَمَنَ خَيْبَرَ
"Ali bin Abi Thalib berkata: Sesungguhnya Rasulullah SAW melarang nikah mut'ah dan memakan daging himar jinak pada perang Khaibar." (HR. Tirmidzi)
Pandangan Mayoritas Ulama tentang Nikah Mut'ah
Mayoritas ulama sepakat bahwa nikah mut'ah adalah haram. Al-Maziri dalam Sahih Muslim, yang dikutip oleh Imam Nawawi, menyatakan:
قَالَ الْمَازِرِيُّ ثَبَتَ أَنَّ نِكَاحَ الْمُتْعَةِ كَانَ جَائِزًا فِي أَوَّلِ الْإِسْلَامِ ثُمَّ ثَبَتَ بِالْأَحَادِيثِ الصَّحِيحَةِ الْمَذْكُورَةِ هُنَا أَنَّهُ نُسِخَ وَانْعَقَدَ الْإِجْمَاعُ عَلَى تَحْرِيمِهِ وَلَمْ يُخَالِفْ فِيهِ إِلَّا طَائِفَةٌ مِنَ الْمُسْتَبْدِعَةِ وَتَعَلَّقُوا بِالْأَحَادِيثِ الْوَارِدَةِ فِي ذَلِكَ وَقَدْ ذَكَرْنَا أَنَّهَا مَنْسُوخَةٌ فَلَا دَلَالَةَ لَهُمْ فِيهَا
Artinya, “Al-Maziri berkata; Telah ditetapkan bahwasanya nikah mut’ah diperbolehkan pada awal masa Islam, lalu telah ditetapkan pula dengan hadits sahih mengenai pergantian hukum yang disepakati ijma’ adalah haram. Tidak ada perbedaan atas pendapat tersebut kecuali para pelaku bid’ah. Mereka merujuk pada beberapa hadits mengenai nikah mut’ah namun beranggapan tidak dalil yang mengganti naskh.”
Unsur yang Menyalahi Syariat
Dalam nikah mut'ah, terdapat unsur fundamental yang menyalahi syariat, yaitu ta’abud (تأبد) atau ikatan yang tidak ada batasan waktu tertentu. Adanya akad yang membatasi masa waktu tidaklah sah menurut syariat Islam. Bahkan, akad pernikahannya rusak dan persyaratannya batal (Badruddin Al-Aini, Umdatul Qari).
Pendapat yang Menyimpang
Meskipun mayoritas ulama sepakat bahwa nikah mut'ah adalah haram, beberapa golongan tetap melegalkannya. Mereka berpendapat bahwa syarat-syarat nikah mut'ah sama seperti pernikahan biasa. Namun, pandangan ini tidak didukung oleh mayoritas ulama dan hadits sahih yang menyatakan keharamannya.
Kesimpulan
Kasus prostitusi yang dibalut dengan nikah mut'ah di Cianjur merupakan bentuk penyalahgunaan konsep nikah mut'ah dalam Islam. Pada kurun awal Islam, nikah mut'ah memang diperbolehkan oleh Nabi SAW, namun hukum tersebut telah diganti (nasakh) menjadi haram. Mayoritas ulama fiqh dan hadits sepakat akan keharamannya. Oleh karena itu, tidak benar jika nikah mut'ah dianggap sebagai pembenaran untuk praktik prostitusi. Wallahu A’lam.
Dengan demikian, penting bagi masyarakat untuk memahami ajaran Islam dengan benar dan tidak terpengaruh oleh interpretasi yang menyimpang. Penegakan hukum yang tegas diperlukan untuk mengatasi kasus-kasus seperti ini dan melindungi masyarakat dari praktik-praktik yang merusak moral dan hukum.