Sejarah Cianjur 2 : Kerajaan Jampang Manggung -->

Notification

×

Kategori Berita

Cari Berita

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Tag Terpopuler

Sejarah Cianjur 2 : Kerajaan Jampang Manggung

Wednesday, June 26, 2024 | June 26, 2024 WIB | 0 Views Last Updated 2024-07-03T15:31:07Z


Foto: (Makam Prabu Kujang Pilawa Raja Pertama Kerajaan Jampang Manggung di Desa Kutawaringin Kec. Mande Kab. Cianjur. Oleh warga setempat Kujang Pilawa dikenal dengan sebutan Eyang Panggung. Kondisi makam saat berjiarah dengan Abah Paslan (nampak difoto) tahun 2016 masih asli berupa tumpukan batu kuno, dimohon agar dijaga keasliaannya. Abah Paslan adalah adik kandung KH. Djalaluddin Isa Putra sesepuh pontren Bina Akhlak Desa Babakan Karet Kec. / Kab. Cianjur)


Selain kerajaan Tanjung Kidul, di Cianjur juga pernah berdiri kerajaan Jampang Manggung. Sumber informasi tentang kerajaan ini berdasarkan tuturan llisan dari Wawacan Jampang Manggung yang kini dipegang akhli waris kerajaan yakni K.H. Djalaluddin Isa Putra atau Eyang Junan sesepuh pondok pesantren Bina Ahklak yang berdomisili di Kampung Sukawargi Desa Babakan Karet Kec. Cianjur Kab. Cianjur.

Kerajaan Jampang Manggung didirikan Prabu Kujang Pilawa asal negeri para Sunda India yang menikah dengan anak gadis Aki Sugiwanca raja kerajaan Jampang Datar didaerah Malabar Bandung. Aki Sugiwanca disebut juga Aki Wengku yang juga memerintah kerajaan Malabar. Kerajaan Jampang Datar kemudian diserahkan kepada Kujang Pilawa. Dan dalam perkembangan kemudian kerajaan Jampang Datar dirubah namanya menjadi kerajaan Jampang Manggung, ibu kota kerajaanpun dipindahkan sekitar gunung Jampang Manggung yang berada diwilayah Kec. Cikalong Kulon Cianjur sekarang. Peristiwa ini diperkirakan terjadi sekitar tahun 406 atau 407 M bertepatan dengan bulan Kawolu 330 Saka.

Kujang Pilawa berhasil membangun negeri, terutama dibidang pertanian dengan berbagai hasil panen yang melimpah seperti kopi, jahe, dsb. Sedangkan untuk perkembangan dunia usaha, Kujang Pilawa membuka sejumlah pasar besar dan pasar kecil dibeberapa tempat. Jampang Manggung diperkirakan sejaman dengan kerajaan Tarumanagara( 358 – 669 M) dan juga kerajaan daerahseperti Purwakarta, Kalapa / Sunda Kalapa (Jakarta) dan untuk kelancaran perekonomian Kujang Pilawa membebaskan warganya bertransaksi dagang dinegara-negara tersebut.

Malah para saudagar dari Jampang Manggung terus berkembang dan banyak berhubungan dengan pedagang pedagang asing yang berasal dari Cina, Benggala, Campa, Sukaya dsb. Mereka bertemu dan bertransaksi di kerajaan Indrabumi di Cirebon. Saudagar Jampang Manggung umumnya menggunakan sistem barter dengan barang- barang seperti gerabah, guci,dan produk lainnya yang dibawa pedagang asing untuk ditukar dengan hasil bumi. Selain hasil bumi, ilmu pengobatan tradisional Jampang Manggung juga mulai dikenal luas. Teknik meracik buah- buahan, akar akaran, biji bijian untuk obat mulai menarik minat tamu- tamu dari luar negeri untuk belajar ke negeri Jampang Manggung.


Diserang Musuh

Kemajuan yang diraih kerajaan Jampang Manggung, rupanya menarik minat kerajaan Benggala untuk menjajah negara ini. Pasukan Benggala dengan kekuatan sekitar 800 orang dalam suatu kesempatan pernah menyerang Jampang Manggung. Namun serangan tersebut dapat dilumpuhkan, Benggala tidak hanya sekali mengerahkan pasukannya untuk merebut Jampang Manggung namun tidak satupun serangan yang berhasil, penyerangan demi penyerangan selalu dikalahkan pasukan Kujang Pilawa. Barang bukti terjadinya serangan Benggala India terhadap Jampang Manggung masih bisa dilihat hingga kini di ahli waris Jampang Manggung berupa belasan perkakas perang yang berhasil dirampas dari pasukan kerajaan Benggala.

(KH. Djalaluddin Isa Putra Sesepuh Pontren Bina Akhlak Desa babakan Karet Kec. Cianjur, sebagai ahli waris kerajaan Jampang Manggung menunjukkan sebagian kecil benda pusaka kerajaan Jampang Manggung, yang sudah berusia ratusan tahun. Diantaranya terdapat senjata asli India yang didapat dari rampasan perang ketika kerajaan ini diserang musuh dari India keturunan Asoka yang berhasildikalahkan.)


Ajaran Kepercayaan Jampang Manggung

Kendati berasal dari India, Kujang Pilawa tidak memaksakan agama Hindu dari leluhurnya menjadi agama negara di Jampang Manggung. Kujang Pilawa tidak ada keterangan apakah tetap beragama Hindu atau beralih mengikuti keyakinan mertuanya. Namun ia melestarikan ajaran

kepercayaan warga Jampang Manggung yang merupakan ajaran leuhur Aki Sugiwanca. Ajaran kepercayaan di Jampang Manggung dikenal memiliki tiga Ajen, yakni Ajen Galunggung, Ajen Galuh dan Ajen Pananggelan. Tiga ajen ini dipelihara dengan baik oleh para pendeta. Pendeta di Jampang Manggungpun dibedakan dalam dua tingkatan yakni pendeta tingkat Ing Paya dan pendeta tinggi bergelar Ing Paya Gung.

Pendeta tingkat Ing Paya derajatnya di bawah Ing Paya Gung, karena selain menguasai ilmu agama, Ing Paya Gung juga menguasai kecakapan lain, seperti ilmu pengobatan, pemerintahan dll. Prabu Kujang Pilawa sangat memakmurkan sekali kehidupan para pendeta ini dengan membangun tempat peribadatan berupa pasanggrahan-pasanggrahan. Menurut ajaran Jampang Manggung keyakinan mereka berasal dari Nabi Adam, Paing Enoh dan Nabi Sis. Kemungkinan yang disebut Paing Enoh ini adalah Nabi Nuh AS dalam ajaran Islam.


Keperdulian Terhadap Hutan

Kujang Pilawa sangat perduli terhadap pelestarian hutan. Untuk keperluan itu ia mengangkat seorang pejabat pengendali hutan yang disebut Patih Sahuang. Patih ini mengatur rakyat Jampang Manggung yang memamfaat hutan. Dalam pengendaliannya jenis hutan dibagi dua, Hutan Larangan (Leuweung Tutupan) dan hutan raja. Warga Jampang Manggung hanya diperbolehkan memasuki kawasan hutan raja saja untuk bertani, berburu dan menebang. Sedangkan Hutang Larangan sama sekali tidak diperbolehkan diganggu, sebab hutan ini diperuntukkan sebagai menyeimbang alam, daerah resapan air dan dipercaya sebagai tempatnya bersemayamnya arwah leluhur.

Satwa yang diburu di hutan rajapun dikendalikan oleh Patih Sahuang, demikian juga dengan menebang pohong. Setiap kepala keluarga diatur sedemikian rupa sehingga tidak berlebihan dalam menebang pohon atau berburu. Ini bertujuan terjaganya keseimbangan satwa, juga untuk keutuhan keaneka ragaman pepohonan. Sedangkan Leuweung Tutupan atau hutan larangan, hanya digunakan untuk kepentingan peribadatan pemujaan arwah leluhur.

Sumber:
Cianjur dari Masa ke Masa ( Fakta Sejarah dan Cerita Rakyat ) | Yayasan Dalem Aria Cikondang Cianjur. 2020

Penyusun:
R. Luki Muharam, SST

Editor :
R. Pepet Djohar
Dr. Dadang Ahmad Fajar,
M.Ag Memet Muhammad Thohir




Iklan

×
Berita Terbaru Update
close