Ojol Jadi Korban Kesewenangan Aplikator karena Tak Dilindungi UU -->

Notification

×

Kategori Berita

Cari Berita

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Tag Terpopuler

Ojol Jadi Korban Kesewenangan Aplikator karena Tak Dilindungi UU

Sunday, September 1, 2024 | September 01, 2024 WIB | 0 Views Last Updated 2024-09-01T10:14:08Z

Tindakan semena-mena pihak aplikasi atau platform yang memotong tarif ke pengemudi ojek online alias ojol mencapai 30-40 persen memicu unjuk rasa di Istana Negara, kantor Gojek di wilayah Petojo, Jakarta Selatan, dan kantor Grab di Cilandak, Jakarta Selatan pada Kamis (29/8).

Dalam unjuk rasa tersebut, ribuan pengemudi ojol juga mendesak pemerintah melegalkan pekerjaan ojol dengan memasukkannya dalam UU No 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.

"Sebab, saat ini sepeda motor tidak diatur sebagai angkutan umum," kata Ketua Presidium Indonesia Traffic Watch (ITW) Edison Siahaan  melalui siaran persnya, Minggu (1/9).

Karena status hukum ojol masih ilegal, kata Edison, menyebabkan para pengemudi ojol menjadi korban dari sikap sewenang-wenang pihak perusahaan aplikasi. 

"Sementara pemerintah belum bisa berbuat banyak untuk memenuhi rasa keadilan para pengemudi ojol dari para perusahaan aplikasi," kata Edison.

Padahal, upaya untuk mengantisipasi potensi terjadinya kekisruhan hingga terbentuknya kelompok sosial yang sulit dikendalikan meskipun melakukan pelanggaran sudah disampaikan oleh Menteri Perhubungan (Menhub), Ignasius Jonan lewat surat kepada Kapolri saat itu dijabat oleh Jenderal Badrodin Haiti.

Dalam surat nomor UM.302/1/21/Phb/2015 tertanggal 9 November 2015 perihal Kendaraan Pribadi (sepeda motor, mobil berpenumpang, mobil barang) yang digunakan untuk mengangkut orang dan atau barang dengan memungut bayaran. 

Saat itu, Menhub meminta Kapolri mengambil langkah-langkah  dan tindakan tegas sesuai dengan peraturan perundang-undangan, terhadap kegiatan yang menggunakan kendaraan bermotor menjadi  angkutan umum dengan fasilitas aplikasi internet serta meminta bayaran. 

Sebab kendaraan bermotor yang digunakan bukan untuk angkutan umum dan tidak memenuhi persyaratan seperti yang diatur dalam UU No 22 Tahun 2009 dan  Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2014 tentang Angkutan Jalan.

Meski surat  yang dilayangkan ke Kapolri merupakan perihal penting dan ditembuskan kepada Menko Polhukam, Menko Bidang Perekonomian, Gubernur seluruh Indonesia, Kapolda seluruh Indonesia, Kakorlantas Polri, Dirjen Perhubungan darat dan ketua umum DPP Organda, sayangnya surat Menhub tersebut tidak mendapat respons dari Kapolri dan pihak-pihak lain. 

"Justru pemerintah seperti beternak konflik dengan membiarkan praktik pelanggaran hukum terjadi," kata Edison.

Akibatnya  jumlah kendaraan bermotor yang beroperasi sebagai angkutan umum tetapi tidak memenuhi persyaratan terus bertambah. 

Hasil ternak kemudian memicu beragam permasalahan seperti kemacetan yang berdampak luar biasa karena menimbulkan kerugian materi sangat besar dan kesehatan serta polusi udara. 

"Diharapkan pemerintahan yang baru dapat menjadi solusi efektif dan parmanen atas persoalan lalu lintas khususnya di kota-kota besar di negeri ini," demikian Edison. 

Sumber: rmol
Foto: Unjuk rasa ojek online menuntut kejelasan nasib dari pemerintah di area Patung Kuda Arjuna Wiwaha, Jakarta Pusat, Kamis (29/8)/RMOL

Iklan

×
Berita Terbaru Update
close