Isu Penggulingan Gibran Bayangi Pertemuan Prabowo-Mega -->

Notification

×

Kategori Berita

Cari Berita

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Tag Terpopuler

Isu Penggulingan Gibran Bayangi Pertemuan Prabowo-Mega

Friday, October 4, 2024 | October 04, 2024 WIB | 0 Views Last Updated 2024-10-04T12:04:04Z

Sejak zaman Ken Arok abad ke-13 hingga kini, pergantian kekuasaan di Nusantara selalu diwarnai pengkhianatan demi pengkhianatan.

Soekarno dikhianati Soeharto. Soeharto dikhianati BJ Habibie, Akbar Tandjung dan sebagainya. Abdurrahman Wahid alias Gus Dur mengkhianati dan dikhianati Megawati Soekarnoputri. Megawati dikhianati Susilo Bambang Yudhoyono dan Joko Widodo.

Apakah Jokowi akan dikhianati Prabowo Subianto? Bisa jadi. Sebab itu, rencana pertemuan Megawati dengan Prabowo yang menurut rencana akan digelar sebelum Ketua Umum Partai Gerindra itu dilantik menjadi Presiden RI, 20 Oktober nanti, dibayang-bayangi isu penggulingan Gibran Rakabuming Raka dari kursi Wakil Presiden RI. 

Putra sulung Jokowi itu diisukan akan digantikan Puan Maharani, yang akan menjadi wujud pengkhianatan Prabowo kepada Jokowi.

Setelah dua kali dikalahkan Jokowi dalam Pemilihan Presiden 2014 dan 2019, Prabowo akhirnya bergabung dengan “Raja Jawa” versi Bahlil Lahadalia itu dengan menjadi Menteri Pertahanan di Kabinet Indonesia Maju. 

Bekas Komandan Jenderal Kopassus itu mungkin berprinsip: if you can’t beat them, join them (jika Anda tidak bisa memukul mereka, bekerja samalah dengan mereka).

Prabowo pun kemudian mendapat “berkah” dari Jokowi dengan dudukung menjadi calon presiden bersama Gibran sebagai cawapresnya di Pilpres 2024, dan terpilih. 

Prabowo-Gibran akan dilantik menjadi Presiden-Wakil Presiden RI pada 20 Oktober mendatang.

Nah, sebelum dilantik, Prabowo berencana bertemu dengan Megawati, Ketua Umum PDI Perjuangan yang merupakan ibu kandung Puan Maharani yang baru saja terpilih kembali sebagai Ketua DPR RI.

Rencana pertemuan Prabowo-Megawati tersebut dibayangi isu Puan akan menggantikan Gibran sebagai Wakil Presiden RI.

Pertemuan Prabowo-Megawati diprediksi akan membahas posisi politik PDIP di pemerintahan Prabowo-Gibran, apakah akan masuk ke dalam pemerintahan atau berada di luar pemerintahan. 

Berdasarkan sinyal-sinyal yang sudah dipancarkan baik oleh pihak Prabowo maupun pihak Megawati, nyaris dapat dipastikan PDIP akan bergabung dengan pemerintahan Prabowo-Gibran. Sejumlah kursi menteri pun telah disiapkan buat PDIP.

Jika PDIP jadi bergabung dengan pemerintahan Prabowo-Gibran, maka praktis tidak akan ada “oposisi” di parlemen. Pasalnya, semua partai politik telah bergabung dalam koalisi pendukung Prabowo-Gibran.

Awalnya adalah Koalisi Indonesia Maju (KIM) yang sejak Pilpres 2024 memang sudah mendukung Prabowo-Gibran. 

Mereka adalah Partai Gerindra, Partai Golkar, Partai Amanat Nasional (PAN) dan Partai Demokrat.

Menyusul kemudian Koalisi Perubahan yang pada Pilpres 2024 mendukung Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar. 

Mereka adalah Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Nasdem dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Bersama KIM, Koalisi Perubahan membentuk KIM Plus.

Praktis hanya PDIP, yang pada Pilpres 2024 mendukung Ganjar Pranowo-Mahfud Md, yang belum mengambil sikap apakah akan mendukung Prabowo-Gibran ataukah jadi “oposisi” di parlemen. 

Maka pertemuan dengan Prabowo nanti diprediksi akan digunakan Megawati untuk menegaskan posisi partainya terhadap pemerintahan Prabowo-Gibran.

Tidak itu saja. Ajang pertemuan itu juga dispekulasikan akan digunakan Megawati untuk mendesakkan Puan sebagai wapres pengganti Gibran jika Prabowo jadi mengkhianati Jokowi nanti.

Pertanyaannya, apakah penggantian Gibran oleh Puan itu memungkinkan? Mungkin saja jika Gibran sudah diberhentikan atau dimakzulkan.

Berdasarkan Pasal 7B ayat (1) Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, usul pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden dapat diajukan oleh DPR kepada MPR hanya dengan terlebih dahulu mengajukan permintaan kepada Mahkamah Konstitusi (MK) untuk memeriksa, mengadili, dan memutuskan pendapat DPR bahwa presiden dan/atau wakil presiden telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela, dan/atau pendapat bahwa presiden dan/atau wakil presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai presiden dan/atau wakil presiden.

Fufufafa Entry Point

Kasus akun Fufufafa di Kaskus yang diduga milik Gibran bisa menjadi titik masuk atau “entry point”-nya. Sudah tak terbantahan lagi bahwa akun Fufufafa adalah milik Gibran.

Akun Fufufafa itu isinya banyak menyerang Prabowo dan anak semata wayangnya bersama Titiek Soeharto, yakni Ragowo Hediprasetyo atau Didit Prabowo.

Pertanyaannya, apakah perbuatan Gibran di masa lalu, jika benar akun Fufufafa itu milik bekas Walikota Surakarta, Jawa Tengah, itu bisa dijadikan “bekal” bagi DPR untuk memakzulkan Gibran?

Bisa saja. Caranya, pihak yang merasa dirugikan, dalam hal ini Prabowo dan keluarganya, melaporkan Gibran ke Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Polri. 

Laporan tersebut pasti akan diproses Polri secara profesional jika nanti Prabowo sudah dilantik menjadi Presiden. Sebab yang mengangkat atau memberhentikan Kapolri adalah Presiden.

Jika itu terjadi, berarti Prabowo melaporkan wakil presidennya sendiri. Jika nanti Gibran jadi tersangka tindak pidana perbuatan tidak menyenangkan atau menyerang kehormatan orang lain, maka cukup bagi DPR untuk menyatakan bahwa Gibran melakukan perbuatan tercela.

Apalagi jika sudah menjadi terpidana, maka DPR bisa menyatakan Gibran melakukan pelanggaran hukum sehingga tidak lagi memenuhi syarat sebagai wakil presiden.

DPR kemudian menyampaikan usulan pemberhentian Gibran kepada MPR setelah terlebih dulu menyampaikan permintaan kepada MK untuk “mengadili” Gibran.

Bagaimana sikap MK? Karena sudah tidak lagi diketuai Anwar Usman, adik ipar Jokowi yang berarti paman Gibran, MK diprediksi akan objektif dan independen.

Lalu, bagaimana dengan DPR? Jika nanti PDIP jadi bergabung dengan KIM Plus, maka kemungkinan untuk memakzulkan Gibran lebih terbuka. 

Dengan menggamit 110 dari 580 kursi di DPR, PDIP bisa menjadi batu penjuru bagi parpol-parpol lainnya.

Golkar (102 kursi), yang pernah tersandera oleh Jokowi saat dipimpin Airlangga Hartarto, diprediksi akan bergabung dengan PDIP, yang merasa dikhianati oleh Jokowi, untuk menggulingkan Gibran.

Begitu pun PAN (48 kursi) yang juga pernah tersandera oleh Jokowi. Adapun Gerindra (86 kursi) akan mengikuti apa pun kata Prabowo, ketua umumnya.

Nasdem (69 kursi) pun setali tiga uang. Surya Paloh, sang ketua umum, pernah tersandera oleh Jokowi.

PKB (68 kursi), yang ketua umumnya, Muhaimin Iskandar sangat pragmatis, akan lebih mudah mendukung PDIP. 

Begitu pun PKS (53 kursi) yang selama ini hubungannya dengan Jokowi tidak harmonis, akan ikut mendukung PDIP untuk menggulingkan Gibran. Demokrat (44 kursi) akan mengikuti sikap Prabowo.

Jika terjadi kekosongan jabatan Wakil Presiden, maka MPR akan memilih Wakil Presiden paling lambat 60 hari setelah terjadi kekosongan.

Tata cara pemilihan Wakil Presiden pengganti ini tertuang dalam Pasal 124 hingga 130 Peraturan MPR Nomor 1 Tahun 2019 tentang Tata Tertib MPR.

Dalam prosesnya, Presiden mengusulkan dua calon Wakil Presiden beserta kelengkapan persyaratan kepada Pimpinan MPR. 

Tim verifikasi MPR yang terpilih kemudian melakukan pengecekan terhadap calon tersebut berikut kelengkapan persyaratannya.

Usai dinyatakan memenuhi syarat, MPR akan melakukan pemilihan dalam Sidang Paripurna. Calon yang memperoleh suara terbanyak akan ditetapkan sebagai Wakil Presiden.

Terakhir, bagaimana dengan sikap Prabowo? Seperti disebut di awal tulisan ini, pergantian kekuasaan di Nusantara selalu diwarnai pengkhianatan. 

Apalagi Prabowo pernah dua kali Jokowi kalahkan. Tak ada kawan atau lawan abadi. Yang abadi adalah kepentingan.

Di pihak lain, usai lengser pada 20 Oktober nanti, praktis Jokowi tak punya kekuatan politik lagi, apalagi sejauh ini belum bergabung dengan parpol apa pun. 

Jokowi tak penting lagi. Jokowi ibarat “lame duck” (bebek lumpuh), sehingga akan lebih mudah disingkirkan, termasuk Gibran.

Jika itu terjadi, maka hukum kausalitas atau sebab-akibat, hukum tabur-tuai, atau yang lebih populer disebut hukum karma, berlaku bagi Jokowi.

Siapa menabur angin, dia akan menuai badai. Setelah mengkhianati Megawati, kini giliran Jokowi yang terancam dikhianati Prabowo. Benarkah? Kita tunggu saja tanggal mainnya. ***

Oleh: Karyudi Sutajah Putra
Analis Politik pada Konsultan dan Survei Indonesia (KSI)
______________________________________
Disclaimer: Rubrik Kolom adalah media masyarakat dalam menyampaikan tulisannya. Setiap Opini di kanal ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab Penulis dan oposisicerdas.com terbebas dari segala macam bentuk tuntutan. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan ini maka sesuai dengan undang-undang pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawabnya kepada penulis Opini. Redaksi oposisicerdas.com akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang sebagai bagian dari hak jawab.

Iklan

×
Berita Terbaru Update
close