PERLAHAN tapi pasti, perubahan itu akan terjadi. Tentu saja berubah ke arah yang lebih baik.
Sebelumnya Jokowi telah menciptakan kelompok eksklusif rezim yang solid, rapat, antikritik, dan ketika terdesak mereka menyanyikan lagu yang sama, "tenggelamkan oposisi". Mudah saja memusuhi dan mengubur kaum kritis, sematkan saja pada mereka anti-NKRI, rasialis, dan barisan sakit hati. Para loyalis pun bersorak sorai. Kebencian langsung memuncak hingga ubun ubun. Sumpah serapah digelontorkan ke kelompok oposisi
Sosok yang paling getol memusuhi rakyat adalah Luhut Binsar Panjaitan, mantan tentara yang dipercaya Jokowi menjadi loyalis buta tuli selama 10 tahun berturut turut. Setidaknya ada 57 jabatan strategis ada di pundak dan punggungnya. Ia hardik siapapun yang mengkritik Jokowi. Ia kumandangkan di depan umum, "siapapun yang mengganggu pemerintah, akan dibuldoser". Sebuah narasi yang mengandung permusuhan dan penghinaan.
Jauh sebelum itu, saat awal-awal Jokowi merapat ke negeri komunis, saat publik mengingatkan agar tidak terlalu dekat dengan Cina, Luhut mengatakan "Bisa apa kita di depan Cina,". Inilah ungkapan rendah diri, inferior, tak berdaya, dan bermental jongos.
Luhut juga pernah mengusir orang-orang kritis dengan narasi, "Yang tidak suka pemerintah silahkan pergi ke negara lain." Sebuah ungkapan yang arogan dan sok kuasa.
Sudah terbiasa, Luhut kalau ngomong ceplas ceplos, lugas, dan tanpa basa basi. Sebagian orang ada yang menyukainya. Akan tetapi sebagian besar yang lain mengaku muak.
Apalagi ketika ucapan itu disampaikan tanpa adab yang baik, data dan fakta yang akurat, maka itu hanyalah nggedabrus, asal keras, asal berisik.
Kini, sekuat kuat Jokowi, akhirnya tumbang juga. Meskipun terjungkalnya tidak seperti di Pakistan dan Korea Selatan. Yang penting Jokowi sudah tamat.
Gerakan oposisi mulai mendapat tambahan energi. Makin banyak orang yang berani bersuara lantang tentang kejahatan Jokowi. Menggunungnya utang dan rekayasa hukum, adalah kelakuan Jokowi yang sulit dimaafkan.
Meski Jokowi berusaha bangkit, akan tetapi Luhut tampaknya jeli melihat nasib Jokowi yang sulit tertolong. Kemarahan rakyat semakin membara setelah membaca dan melihat apa yang dilakukan Jokowi selama menjadi presiden. Jokowi bergumul dengan oligarki, bermesraan dengan China untuk memuluskan kepentingan keluarga dan kroninya.
Rakyat disogok dengan sembako dan uang tunai. Pandangan mata rakyat, disamarkan dengan penampilan sederhana, ndeso, dan innocent.
Tapi, kebenaran tetap kebenaran, meskipun ditutup dengan kepalsuan. Pengadilan rakyat atas kelakuan Jokowi, hanya soal waktu saja. Kejahatannya sudah melampaui batas.
Luhut sadar. Ia harus berbenah dan menyelamatkan diri agar tidak tergulung kemarahan rakyat. Ia mulai membersihkan diri dengan menulis di medsos menyalahkan kebijakan rezim yang lalu, di mana ia ada di dalamnya.
Ia mau cuci tangan dengan seakan akan kritis dan peduli. Ia sampaikan bahwa dana bansos tak tepat sasaran. Jumlah yang seharusnya disalurkan Rp500 triliun, kata Luhut, ada Rp250 triliun yang menguap.
Luhut yang saat ini menjabat sebagai Ketua Dewan Ekonomi Nasional, dalam unggahan akun Instagram pribadinya, mengatakan dari total bansos Rp 500 triliun yang dikucurkan dalam lima tahun terakhir, hanya separuh yang benar-benar sampai ke tangan yang berhak. Katanya banyak masyarakat yang tidak memenuhi syarat, justru yang mendapatkan bansos.
Demikian jalur evakuasi upaya penyelamatan diri Luhut. Ia tiba-tiba menjadi orang kritis, bijaksana, dan peduli pada penderitaan rakyat. Khotbah yang sungguh tak ada gunanya.
Lagumu seperti pahlawan kesiangan saja, wahai Luhut. Engkau lupa, rakyat memantau gerak gerikmu. (*)
Sumber: fnn
Foto: Luhut Binsar Panjaitan/Net