LSI Denny JA: Prabowo Diharapkan Jadi Bapak Pemberantasan Korupsi Indonesia -->

Notification

×

Kategori Berita

Cari Berita

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Tag Terpopuler

LSI Denny JA: Prabowo Diharapkan Jadi Bapak Pemberantasan Korupsi Indonesia

Tuesday, March 18, 2025 | March 18, 2025 WIB | 0 Views Last Updated 2025-03-18T11:47:55Z

Presiden Prabowo Subianto diharapkan mampu memberantas korupsi di Indonesia. 

Jika dalam masa jabatannya (2025-2029) Prabowo berhasil menjadi Bapak Pemberantas Korupsi Indonesia dan berhasil menaikkan Indeks Tata Kelola Pemerintahan (GGI) dari 53,17 ke 70,00, maka Prabowo akan berhasil membawa Indonesia menjadi negara maju.

Pendiri Lingkaran Survei Indonesia (LSI), Denny JA, mengungkapkan hal tersebut dalam riset terbarunya. 

LSI Denny JA mengembangkan indeks tata kelola pemerintahan dengan mendayagunakan enam indeks dunia yang kredibel. 

Saat ini CGI Indonesia masih rendah (53,17) dibandingkan dengan Korea Selatan (79,44), Jepang (84,11), dan Singapura (87,2

"Negara yang gagal dalam tata kelola pemerintahan akan gagal membangun negara yang kuat. Negara yang gagal memberantas korupsi juga akan gagal mencapai apa pun secara maksimal," tulis Denny JA.

Ia mengingatkan tak peduli seberapa besar sumber daya yang dimiliki, jika pemerintahan lemah, kebocoran anggaran, lambannya birokrasi, dan korupsi sistemik akan menghancurkan fondasi negara.

Indonesia kini berada di persimpangan sejarah. Di satu sisi, ambisi pertumbuhan ekonomi 8 persen per tahun menjadi cita-cita besar. Namun, di sisi lain, masalah yang mengakar dalam sistem tetap menjadi penghambat: korupsi, birokrasi yang tidak efisien, serta lemahnya tata kelola pemerintahan.

Tata kelola pemerintahan adalah fondasi kemajuan sebuah bangsa. Untuk mengukurnya, Good Governance Index (GGI) menilai enam pilar utama, masing-masing dipantau oleh lembaga internasional yang telah lama mengkaji kualitas pemerintahan dunia.

1. Efektivitas Pemerintahan (25 persen)

Diukur oleh World Bank melalui Government Effectiveness Index (GEI) sejak 1996, mencakup 214 negara. Menilai efisiensi birokrasi, regulasi, serta kualitas layanan publik.

2. Pemberantasan Korupsi (20 persen)

Diukur oleh Transparency International melalui Corruption Perceptions Index (CPI) sejak 1995, meliputi 180 negara. Korupsi melemahkan negara dari dalam; indeks ini mencerminkan seberapa bersih pemerintahan dari praktik suap dan penyalahgunaan kekuasaan.

3. Digitalisasi Pemerintahan (15 persen)

Diukur oleh UN DESA melalui E-Government Development Index (EGDI) sejak 2003, mencakup 193 negara. Digitalisasi mempercepat layanan publik dan menutup celah korupsi.

4. Demokrasi (15 persen)

Diukur oleh Economist Intelligence Unit melalui Democracy Index (DI) sejak 2006, mencakup 167 negara. Menilai transparansi politik, kebebasan sipil, dan partisipasi rakyat.

5. Pembangunan Manusia (15 persen)

Diukur oleh UNDP melalui Human Development Index (HDI) sejak 1990, meliputi 191 negara. Negara maju tidak diukur dari PDB-nya saja, tetapi dari kualitas pendidikan, kesehatan, dan harapan hidup rakyatnya.

6. Keberlanjutan Lingkungan (10 persen)

Diukur oleh Yale University melalui Environmental Performance Index (EPI) sejak 2006, mencakup 180 negara. Pembangunan tanpa keberlanjutan hanyalah perampokan masa depan.

"Jika GGI Indonesia bisa naik dari 53,17 ke 70, maka pemerintahan akan lebih bersih, rakyat lebih sejahtera, dan sejarah akan mencatatnya sebagai era reformasi sejati," kata Denny JA. 

Menurutnya, ada enam pilar utama dalam indeks tata kelola pemerintahan yang harus diperbaiki 

Pertama; Korupsi. 

Korupsi bukan sekadar kejahatan finansial, tetapi penyakit kronis yang merusak moral birokrasi dan perekonomian. Dari kasus mafia migas di Pertamina, suap dalam proyek infrastruktur, hingga skandal impor, korupsi telah merugikan negara triliunan Rupiah setiap tahun.

Saat ini, Indeks Persepsi Korupsi (CPI) Indonesia hanya 34, tertinggal dari Singapura (83), Jepang (73), dan Korea Selatan (63).

Negara-negara yang berhasil keluar dari jerat ini - Singapura, Denmark, Finlandia - telah membuktikan bahwa pemberantasan korupsi adalah fondasi utama tata kelola pemerintahan yang baik.

"Jika masalah ini tidak ditangani dengan serius, Indonesia akan terus kehilangan kepercayaan investor, pertumbuhan ekonomi akan tersendat, dan kesejahteraan rakyat akan tergadaikan," kata Denny JA.

Kedua, Efektivitas Pemerintahan

Banyak kebijakan pemerintah yang disusun dengan baik di atas kertas, tetapi gagal diimplementasikan karena birokrasi yang tidak efisien, regulasi yang berbelit, serta minimnya akuntabilitas.

Efektivitas pemerintahan Indonesia saat ini hanya 0,58, jauh tertinggal dari Singapura (2,32), Jepang (1,63), dan Korea Selatan (1,4).

Negara-negara seperti Singapura dan Korea Selatan telah berhasil membangun sistem birokrasi yang cepat, transparan, dan berbasis teknologi. Indonesia masih berkutat dengan prosedur yang lambat dan korupsi dalam pelayanan publik.

Tanpa reformasi dalam efektivitas birokrasi, pembangunan akan selalu tertinggal dari rencana. Rakyat yang seharusnya mendapatkan manfaat akan terus terjebak dalam sistem yang berbelit-belit.

Ketiga, Demokrasi

Meskipun demokrasi di Indonesia telah berkembang sejak era Reformasi, masih ada tantangan besar yang harus dihadapi.

Indeks Demokrasi Indonesia saat ini berada di angka 6,53, lebih rendah dibanding Korea Selatan (8,4) dan Jepang (8,09).

Sistem demokrasi yang sehat seharusnya menciptakan kontrol atas kekuasaan, keseimbangan antara eksekutif dan legislatif, serta kebebasan pers dan civil society yang kuat.

Namun, tantangan yang masih dihadapi adalah; Politik uang yang masih mengakar dalam pemilihan umum, minimnya transparansi dalam pengambilan kebijakan, politik tanpa oposisi yang berimbang.

Jika demokrasi hanya sekadar prosedural tanpa transparansi dan akuntabilitas, maka kekuasaan akan terus berputar di tangan oligarki, tanpa memberikan dampak nyata bagi rakyat.

Keempat, Pembangunan Manusia

Negara yang kuat tidak hanya dinilai dari pertumbuhan ekonominya, tetapi juga dari seberapa baik ia membangun kualitas hidup warganya.

Indeks Pembangunan Manusia (HDI) Indonesia saat ini hanya 0,713, tertinggal jauh dari Singapura (0,949), Korea Selatan (0,929), dan Jepang (0,920).

"Ketimpangan dalam akses pendidikan dan layanan kesehatan masih menjadi masalah serius," kata Denny JA.. Ia pun menyoroti anggaran pendidikan masih belum mampu mengejar kualitas negara-negara Asia yang maju, jaminan kesehatan belum merata untuk semua warga serta disparitas ekonomi antara kota dan desa masih sangat besar.

Negara-negara seperti Korea Selatan telah membuktikan bahwa investasi besar dalam pendidikan dan kesehatan akan menciptakan generasi yang lebih produktif dan kompetitif di tingkat global.

Jika pembangunan manusia tidak menjadi prioritas, pertumbuhan ekonomi hanya akan dinikmati oleh segelintir elit, sementara mayoritas rakyat tetap tertinggal.

Kelima, Keberlanjutan Lingkungan

Denny JA menilai, Indonesia memiliki kekayaan alam yang luar biasa. Namun ironisnya, keberlanjutan lingkungan sering kali dikorbankan demi kepentingan ekonomi jangka pendek.

Indeks Lingkungan Indonesia (EPI) hanya 28,2, jauh tertinggal dari Jepang (59,6) dan Singapura (50,9).

Negara-negara maju telah memahami bahwa keberlanjutan lingkungan adalah kunci untuk memastikan generasi mendatang tetap memiliki sumber daya alam yang cukup. Tanpa kebijakan yang ketat dalam perlindungan lingkungan, Indonesia akan menghadapi krisis ekologis yang sulit dipulihkan.

Keenam, Digitalisasi Pemerintahan

Di era modern, pemerintahan yang transparan dan efisien tidak bisa dilepaskan dari digitalisasi. Namun saat ini, Indeks Digitalisasi Pemerintahan Indonesia (EGDI) masih di angka 0,7991, tertinggal dari Singapura (0,9691), Korea Selatan (0,9679), dan Jepang (0,9351).

Negara-negara yang telah maju dalam digitalisasi pemerintahan berhasil mengurangi korupsi, mempercepat layanan publik, dan meningkatkan efisiensi birokrasi.

"Jika Indonesia tidak segera berinvestasi dalam transformasi digital, maka ketertinggalan dalam pelayanan publik dan tata kelola pemerintahan akan semakin lebar," katanya.

Jika semua tantangan di atas tidak segera diselesaikan, Indonesia akan terus tertinggal dalam tata kelola pemerintahan.

Lalu, apakah Prabowo akan menjadi pemimpin yang membawa Reformasi nyata?

Prabowo telah berulang kali bersumpah, akan mengejar koruptor hingga Antartika, membangun penjara di pulau terpencil, dikelilingi laut dengan ikan hiu. Kini, masyarakat menunggu langkah nyatanya, misalnya:

-  Merevisi undang-undang agar hukuman koruptor lebih berat: minimal 20 tahun penjara tanpa remisi hingga penjara seumur hidup.

-  Menyita seluruh aset hasil korupsi, mengembalikannya kepada rakyat, melalui disahkannya UU Perampasan Aset.

-  Membangun sistem digitalisasi penuh dalam birokrasi, menutup celah suap dan permainan proyek.

-  Memulai dengan kasus korupsi yang kini sedang nampak di depan mata: Pertamina. Berantas mafia minyak hingga ke akarnya, termasuk politik oligarki yang selama ini ikut menerima keuntungan dan melindungi mereka.

Sumber: rmol
Foto: Presiden Prabowo Subianto/Net

Iklan

×
Berita Terbaru Update
close