Dalam sebuah dinamika politik yang mengemuka pasca-pemilu 2024, kelompok purnawirawan TNI mulai menunjukkan peran politik aktif mereka dalam mengkritisi arah pemerintahan baru. Menurut pengamat intelijen dan geopolitik Amir Hamzah, para purnawirawan TNI kini tak hanya bersuara sebagai mantan prajurit, tetapi harus mengajak kalangan sipil (civil society) untuk bersama-sama menyuarakan kegelisahan terhadap berbagai dinamika politik mutakhir.
Gerakan ini dinilai merefleksikan semangat korektif sebagaimana yang pernah terjadi di era 1960-an, ketika TNI memberi peringatan kepada Presiden Soekarno terkait pengaruh Partai Komunis Indonesia (PKI). Kini, semangat serupa kembali hadir—meski dalam konteks yang sangat berbeda—di mana para purnawirawan meminta mantan Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk tidak ikut campur dalam pemerintahan Prabowo Subianto.
Beberapa isu krusial yang menjadi sorotan dalam pertemuan-pertemuan kelompok ini antara lain:
-Permintaan untuk mengembalikan Undang-Undang Dasar 1945 ke versi asli sebelum amandemen.
-Pemberantasan korupsi secara menyeluruh yang dinilai stagnan di era Jokowi.
-Desakan agar Gibran Rakabuming Raka dicopot dari jabatan Wakil Presiden karena dianggap tidak konstitusional.
-Penolakan terhadap keterlibatan Jokowi secara aktif dalam pemerintahan mendatang yang dipimpin Prabowo.
“Fenomena dua matahari dalam pemerintahan Prabowo ini berbahaya. Prabowo terlihat masih berada di bawah bayang-bayang Jokowi. Ini tidak sehat untuk demokrasi,” ujar Amir Hamzah kepada redaksi www.suaranasional.com, Sabtu (19/4/2025)
Menurut Amir, yang dilakukan para purnawirawan TNI ini tidak cukup hanya berbicara di internal militer. Gerakan ini akan memiliki legitimasi yang lebih kuat bila terhubung dengan kelompok masyarakat sipil, seperti mahasiswa, organisasi buruh, serta ulama. Sinergi antara purnawirawan dan sipil ini bisa membentuk tekanan moral yang lebih besar kepada pemerintahan baru.
“Kalau hanya purnawirawan TNI yang bicara kurang kuat gerakannya. Tapi kalau rakyat sipil ikut, ini jadi gerakan kebangsaan dan kuat,” ujarnya.
Amir juga menyoroti sejumlah posisi strategis dalam pemerintahan yang masih dikendalikan oleh orang-orang dekat Jokowi, seperti Jaksa Agung, Panglima TNI, dan Kapolri. Posisi-posisi ini, menurut Amir, berpotensi menjadi hambatan besar bagi pemerintahan Prabowo dalam menciptakan independensi dan stabilitas.
“Prabowo akan sulit manuver jika struktur hukumnya masih dikuasai loyalis Jokowi. Bisa jadi ini ‘jebakan konstitusional’,” tambahnya.
Salah satu tuntutan paling kontroversial dari kelompok purnawirawan adalah pemakzulan Wakil Presiden terpilih Gibran Rakabuming Raka. Namun, secara hukum, pemakzulan wapres bukanlah langkah mudah. Dibutuhkan proses panjang melalui DPR dan MPR, serta revisi terhadap sistem ketatanegaraan yang saat ini tidak lagi menjadikan MPR sebagai lembaga tertinggi negara.
“Kalau mau makzulkan Gibran, itu harus mulai dari revisi undang-undang dulu. DPR yang sekarang belum tentu punya niat atau keberanian politik untuk itu,” jelas Amir.
Sumber: suara
Foto: Amir Hamzah (IST)