Trump Trade War: Menyelamatkan Pasar Modal, Menyehatkan Ekonomi Indonesia -->

Notification

×

Kategori Berita

Cari Berita

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Tag Terpopuler

Trump Trade War: Menyelamatkan Pasar Modal, Menyehatkan Ekonomi Indonesia

Saturday, April 12, 2025 | April 12, 2025 WIB | 0 Views Last Updated 2025-04-12T10:21:18Z

“Ketika melihat fenomena ini, kita diingatkan pada siklus 100 tahunan yang dikenal dengan istilah Great Depression atau Depresi Besar, yang melanda Amerika Serikat pada tahun 1929. Saat itu, bursa efek New York Stock Exchange mengalami kehancuran besar hingga puluhan juta saham menjadi tidak bernilai” ujar Dr. Handi Risza Idris,  Wakil Rektor Universitas Paramadina pada diskusi yang diadakan oleh Universitas Paramadina bertajuk “Trump Trade War: Menyelamatkan Pasar Modal, Menyehatkan Ekonomi Indonesia” melalui zoom meeting pada Jumat (11/4/2025).

Lebih lanjut, Handi menyoroti Undang-Undang Tarif Smoot-Hawley yang diberlakukan pada tahun 1930. Undang-undang ini diusulkan oleh Senator Smoot dan Hawley dengan menaikkan tarif masuk untuk melindungi produk dalam negeri Amerika dari gempuran impor, terutama dari Eropa. Namun, kebijakan tersebut justru memperburuk kondisi ekonomi Amerika dan dunia, memicu krisis global yang berlangsung hampir satu dekade.

Direktur Utama Bursa Efek Indonesia (BEI), Iman Rachman, menyampaikan serangkaian langkah strategis yang telah diambil oleh BEI dalam merespons gejolak pasar yang terjadi akibat faktor global, termasuk ketegangan dagang yang mempengaruhi Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) dalam beberapa waktu terakhir.

Pada 18 Maret 2025, ketika IHSG mengalami penurunan drastis hingga -5%, BEI secara sigap melakukan trading haltatau penghentian sementara perdagangan selama 30 menit sebagai upaya untuk memberikan ruang stabilisasi pasar. Langkah serupa juga diterapkan pada 8 April 2025, ketika IHSG anjlok hingga -8% menyusul kebijakan tarif baru dari Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, yang memicu kekhawatiran pelaku pasar global.

Menindaklanjuti kondisi tersebut, BEI bersama dengan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengambil beberapa kebijakan penting pada periode 2–19 Maret 2025, yaitu penundaan pelaksanaan short selling untuk meredam tekanan jual; penerbitan kebijakan buyback saham tanpa melalui RUPS, guna mempermudah emiten dalam menstabilkan harga saham, pemberian fleksibilitas bagi emiten untuk mengambil langkah-langkah stabilisasi harga di tengah tingginya volatilitas dan peningkatan kepercayaan investor, melalui komunikasi aktif dan kebijakan yang responsif.

Tak hanya itu, pada 8 April 2025, BEI juga melakukan penyesuaian ketentuan batasan Auto Rejection Bawah (ARB)menjadi 15% untuk saham di Papan Utama, Pengembangan, dan Ekonomi Baru, serta produk ETF dan DIRE. BEI juga memperbarui ketentuan trading halt sebagai bagian dari upaya penyesuaian terhadap dinamika pasar.

Dalam menghadapi dinamika pasar yang penuh tantangan, Bursa Efek Indonesia (BEI) telah merancang strategi jangka pendek dan jangka panjang guna menjaga stabilitas serta memperkuat ketahanan pasar modal Indonesia. Dalam jangka pendek, BEI menempuh sejumlah langkah strategis yang difokuskan pada pemulihan kepercayaan investor dan stabilitas pasar. Pertama, dilakukan komunikasi aktif dengan publik dan media untuk menjaga persepsi positif dan membangun kembali kepercayaan pelaku pasar. Selanjutnya, BEI melakukan penyesuaian terhadap aturan perdagangan, termasuk pengaturan batas Auto Rejection Bawah (ARB) dan mekanisme trading halt, sebagai bentuk respons terhadap volatilitas pasar.

Di sisi regulasi, relaksasi aturan buyback saham oleh OJK juga menjadi langkah penting, di mana emiten kini dapat melaksanakan aksi buyback tanpa perlu persetujuan Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS). Selain itu, penguatan pengawasan pasar atau market surveillance terus ditingkatkan guna mendeteksi dan mengantisipasi aktivitas perdagangan yang tidak wajar di tengah kondisi pasar yang penuh ketidakpastian.

Sementara itu, untuk memperkuat daya tahan pasar modal dalam jangka panjang, BEI mengedepankan strategi-strategi yang lebih struktural. Salah satunya adalah diversifikasi produk melalui pengembangan instrumen-instrumen baru seperti Single Stock Future, Exchange Traded Fund (ETF) berbasis emas, dan Structured Warrant (SW). BEI juga berkomitmen untuk meningkatkan kualitas dan efisiensi proses penawaran umum perdana saham (IPO), sehingga dapat mendorong pertumbuhan jumlah emiten baru. Tak kalah penting, peningkatan likuiditas dan modernisasi infrastruktur perdagangan menjadi fokus utama, dengan tujuan menciptakan pasar modal yang inklusif, efisien, dan mampu bersaing secara global.

“Stabilitas dan kepercayaan pasar adalah prioritas utama kami. BEI berkomitmen untuk terus menjaga integritas pasar dan melindungi kepentingan seluruh investor di tengah tantangan global yang dinamis” ujar Iman Rachman.

Ekonom senior dari Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Dr. Aviliani, menyampaikan pandangan strategisnya mengenai situasi global yang terus berubah dan pentingnya respons cepat dari pemerintah maupun dunia usaha dalam menghadapi ketidakpastian yang kini menjadi keniscayaan.

“Uncertainty bukan lagi sesuatu yang baru. Sejak krisis 2008 hingga proyeksi 2025, dunia terus menghadapi gejolak ekonomi dan geopolitik dalam rentang waktu yang semakin pendek. Artinya, kepastian satu-satunya adalah ketidakpastian itu sendiri” ungkap Aviliani.

Ia menyoroti bahwa sistem pengambilan kebijakan di Indonesia masih terlalu terpaku pada prinsip rule-based, bukan principle-based. Padahal, dalam kondisi global yang berubah cepat dan penuh kejutan seperti kebijakan tarif Trump yang sering berubah dalam waktu singkat diperlukan pendekatan yang lebih fleksibel dan adaptif dari para pengambil keputusan di semua sektor.

“Jika perubahan tidak direspons dengan cepat, kita bisa menjadi korban dari kebijakan kita sendiri. Bukan hanya pemerintah, tetapi juga pelaku usaha dan birokrasi, khususnya otoritas pasar keuangan seperti bursa saham dan pasar valuta asing, harus bergerak cepat agar saat krisis terjadi, dampaknya bisa ditekan dan pemulihan bisa berlangsung lebih cepat” jelasnya.

Aviliani juga menyoroti pergeseran global dari liberalisme menuju proteksionisme, terutama oleh Amerika Serikat, yang mengharuskan Indonesia untuk meningkatkan kapasitas negosiasi bilateral dan kesiapan dalam manajemen risiko lintas kebijakan negara.

“Negosiasi perdagangan antarnegara harus dilakukan secara langsung dan bilateral. Setiap kebijakan internasional yang berubah cepat harus segera direspons. Jangan menunggu. Salah satu contohnya adalah kesiapan Indonesia dalam menanggapi kebijakan tarif dari pemerintahan Trump” tambahnya.

Lebih jauh, ia menekankan bahwa strategi menghadapi ketidakpastian tidak bisa dijalankan secara terpisah. Kolaborasi erat antara pemerintah dan dunia usaha menjadi kunci agar arah kebijakan lebih tepat sasaran dan implementatif. Pemerintah juga harus terbuka terhadap masukan dari para pelaku usaha sebagai mitra strategis dalam menjaga stabilitas ekonomi nasional.
 
Dalam konteks konsumsi domestik, Aviliani menyoroti peran penting kelas atas dan menengah atas yang kini menyumbang sekitar 65% konsumsi nasional. “Di tengah kondisi ekonomi yang menantang dan suku bunga tinggi, justru dua kelas ini memiliki kelebihan dana. Idealnya, kontribusi belanja mereka bisa ditingkatkan lagi untuk mendorong pertumbuhan ekonomi” ujarnya.

Namun demikian, ia mengingatkan bahwa kebijakan subsidi seharusnya lebih diarahkan kepada kelas menengah bawah yang tidak mendapatkan bantuan langsung seperti masyarakat miskin. “Kita tahu bahwa selama ini subsidi BBM justru lebih banyak dinikmati oleh kalangan atas. Harus ada penyesuaian agar bantuan keuangan negara lebih tepat sasaran dan adil” pungkasnya.

Direktur Utama PT Mandiri Sekuritas, Dr. Oki Ramdhana, menyampaikan pandangannya terkait dampak kebijakan tarif AS terhadap Indonesia, serta prospek pasar modal nasional yang dinilai tetap resilien dan penuh potensi.

Meski Amerika Serikat mengenakan tarif hingga 30%, Oki menekankan bahwa dampaknya terhadap Indonesia secara langsung tergolong minim. “Ekspor Indonesia ke AS hanya sekitar 1,9% dari total PDB, dan jika produk-produk tertentu seperti elektronik dikecualikan, nilainya hanya berkisar 1,3%. Dibandingkan negara-negara ASEAN lainnya, Indonesia terdampak paling kecil” ungkapnya.

Sebagai pembanding, Oki menyoroti bahwa Vietnam memiliki ketergantungan ekspor yang jauh lebih tinggi terhadap AS, yakni sekitar 30% dari GDP-nya, sementara Singapura bahkan memiliki total ekspor yang setara dengan 100% dari GDP mereka. “Indonesia memiliki struktur ekonomi yang lebih tertutup (more closed economy), dengan ekspor hanya 19% dari PDB dan hanya 2% diantaranya ditujukan ke pasar AS. Ini membuat Indonesia lebih resilien terhadap gejolak eksternal” jelasnya.

Namun demikian, ketidakpastian (uncertainty) global tetap menjadi perhatian utama. Setelah pengumuman kebijakan tarif, pasar Indonesia sempat mengalami koreksi hingga 8%. Meski masih lebih baik dibandingkan Vietnam, Singapura, bahkan pasar AS sendiri, efek dari ketegangan dagang tetap menjadi sentimen negatif yang perlu diwaspadai, terutama karena dampaknya terhadap ekspor ke China.

Oki juga menekankan pentingnya menjaga persepsi internasional terhadap netralitas dan stabilitas Indonesia dalam iklim geopolitik yang penuh ketidakpastian ini. Menurutnya, kunci utama untuk memperkuat daya tahan ekonomi nasional adalah dengan memperdalam pasar keuangan domestik (market deepening), sebagaimana selalu disampaikan oleh Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati.

“Pasar modal Indonesia cukup menjanjikan karena memiliki sektor yang beragam. Meski saat ini masih terdapat saham-saham yang kurang likuid, peningkatan likuiditas adalah prioritas kami. Dengan meningkatkan likuiditas, investor global akan semakin tertarik masuk ke pasar Indonesia” ujar Oki.

Lebih lanjut, ia menyoroti beberapa langkah strategis untuk mendorong likuiditas, antara lain: penguatan investasi domestik di pasar dalam negeri, penyeimbangan suplai dan permintaan antara instrumen seperti SRBI dan SBN, pengembangan produk keuangan yang lebih luas, serta kolaborasi lintas negara ASEAN untuk mendukung investasi bersama.

“Dengan strategi yang terarah dan kolaboratif antara sektor publik dan swasta, kami optimistis Indonesia akan mampu menghadapi tantangan global dan sekaligus memanfaatkan peluang untuk pertumbuhan pasar modal yang lebih sehat dan berkelanjutan” tutup Oki.

Ekonom Universitas Paramadina, Wijayanto Samirin, MPP, mengingatkan bahwa kinerja Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) saat ini sangat dipengaruhi oleh kombinasi faktor global, nasional, dan kondisi spesifik tiap negara. Dalam kajiannya, Wijayanto menyoroti sejumlah dinamika ekonomi yang perlu diwaspadai oleh pemerintah dan pemangku kepentingan, terutama dalam menghadapi potensi perlambatan ekonomi global.

Salah satu sorotan utama datang dari Amerika Serikat, di mana Elon Musk mengungkapkan kekhawatirannya terhadap ancaman kebangkrutan fiskal AS. Dalam paparan di hadapan Kongres, Donald Trump bahkan menjanjikan anggaran berimbang (balance budget) guna mencegah kebangkrutan negara tersebut. Saat ini, utang AS tercatat mencapai USD 36 triliun, dengan perkiraan defisit anggaran sebesar USD 1,2 triliun atau sekitar 6,2% dari Produk Domestik Bruto (PDB).

Strategi Trump untuk mengatasi masalah fiskal tersebut antara lain dengan menugaskan Elon Musk dengan DOGE-nya untuk memangkas belanja sebesar USD 500 miliar per tahun, serta menaikkan pendapatan negara sebesar USD 700 miliar per tahun melalui peningkatan tarif impor.

Sementara di dalam negeri, tantangan yang akan dihadapi pemerintahan Prabowo tidak kalah serius, seperti ketidakstabilan fiskal, tekanan terhadap nilai tukar rupiah, deindustrialisasi, dan belum optimalnya penciptaan lapangan kerja. Kondisi ini membuat Indonesia dipandang sebagai negara dengan risiko tinggi. Wijayanto menilai bahwa hingga saat ini pemerintah belum menunjukkan rencana konkret yang realistis dan rasional, serta belum memiliki tim kabinet yang benar-benar solid. Oleh karena itu, diperlukan kalibrasi terhadap berbagai program besar agar sesuai dengan kemampuan dan kebutuhan nasional.

Dalam konteks Pasar Modal Wija mendorong dilakukannya transformasi dan reformasi yang serius, seperti beberapa kali dilakukan terhadap sektor perbankan kita. “Melihat potensinya yang besar bagi upaya mendorong pertumbuhan dan pemerataan ekonomi, sudah bukan saatnya lagi Pasar Modal seperti dianaktirikan lagi,” Katanya

Muncul pula kekhawatiran akan potensi krisis seperti yang terjadi pada tahun 1998, namun Wijayanto menegaskan perlunya melihat karakteristik krisis yang berbeda. Tahun 2025 diperkirakan menjadi masa yang penuh tekanan dari sisi eksternal. Jika krisis benar terjadi, penyebab utamanya bukan berasal dari dalam negeri, tetapi dari luar negeri, dengan dampak yang merata ke seluruh dunia. Kendati demikian, situasi politik domestik dinilai tetap stabil dan sektor perbankan relatif kuat. Namun, jika tidak ada langkah antisipatif yang tepat, Indonesia bisa saja terdampak skenario krisis mirip subprime mortgage krisis 2010, yang menyebabkan pertumbuhan ekonomi melambat.

"Oleh karena itu, pemerintah harus segera melakukan perbaikan kebijakan ekonomi dan melakukan kalibrasi terhadap program-program besar agar lebih sesuai dengan kondisi riil perekonomian Indonesia" tutup Wijayanto.

Iklan

×
Berita Terbaru Update
close