Jokowi Konsisten Bertitel Insinyur -->

Notification

×

Kategori Berita

Cari Berita

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Tag Terpopuler

Jokowi Konsisten Bertitel Insinyur

Monday, May 5, 2025 | May 05, 2025 WIB | 0 Views Last Updated 2025-05-05T06:05:54Z

APABILA mengetik kata kunci “Pilwakot Solo 2005” di Google, maka akan muncul informasi hasil Pilwalkot Solo pada tahun tersebut. 

Data menunjukkan bahwa pasangan calon nomor urut 1, Ir. H. Joko Widodo dan F.X. Hadi Rudyatmo yang diusung PDI Perjuangan meraih suara terbanyak, yakni 99.961 suara atau sekitar 36,67 persen.

Menariknya, dalam info data resmi itu, nama Joko Widodo alias Jokowi sudah tercantum dengan gelar Ir alias Insinyur. Ini menandakan bahwa Jokowi telah menyandang gelar sarjana kehutanan dari Universitas Gadjah Mada (UGM). setidaknya sejak sebelum Pilwakot 2005. Gelar tersebut sudah digunakan secara resmi dalam dokumen Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kota Solo.

Konsistensi penggunaan gelar Ir berlanjut dalam Pilwakot Solo 2010, ketika pasangan yang sama kembali memenangkan  dengan perolehan suara 248.243 atau sekitar 90,09 persen. 

Demikian pula pada Pilkada DKI Jakarta tahun 2012. Dalam pengumuman resmi KPU DKI Jakarta Nomor: 267/KPU-PROV-010/V/2012, nama Ir. H. Joko Widodo kembali tercatat sebagai calon gubernur yang diusung oleh PDI Perjuangan dan Partai Gerindra, berpasangan dengan Ir. Basuki Tjahaja Purnama.

Hingga ke level nasional, pada Pilpres 2014 dan 2019, laman resmi KPU RI tetap mencantumkan nama Joko Widodo dengan gelar Ir. Artinya, sejak awal karier politiknya, dari tingkat lokal hingga nasional, gelar akademik itu digunakan secara konsisten dan diakui dalam dokumen-dokumen resmi negara.

Dengan rangkaian fakta ini, seharusnya tidak ada lagi keraguan mengenai keberadaan dan keabsahan gelar Presiden ke-7 RI tersebut.

Namun demikian, polemik kembali mencuat ketika salinan ijazah Jokowi beredar di media sosial. Beberapa pihak menuduh bahwa ijazah tersebut palsu, dengan berbekal analisis terhadap format, tanda tangan, maupun unsur administratif lain yang tampak dalam salinan tersebut. 

Ironisnya, tuduhan itu tidak dilandaskan pada kajian atas dokumen asli, melainkan semata-mata pada salinan digital yang belum diverifikasi secara resmi.

Dalam konteks ini, saya berpendapat bahwa pihak-pihak yang melontarkan tuduhan terkait dugaan ijazah palsu sarjana UGM milik Jokowi tidak serta-merta dapat dianggap bersalah. 

Mereka pada dasarnya hanya merespons informasi yang telah beredar di ruang publik dan melakukan analisis berdasarkan salinan ijazah yang tersedia. Sesuai dengan keahlian masing-masing. Meskipun keasliannya belum dapat dipastikan secara sah.

Jika pada akhirnya Jokowi menunjukkan ijazah aslinya dan hasil analisis mereka terbukti keliru, serta ijazah tersebut dinyatakan asli secara hukum dan melalui proses pengadilan, maka barulah mereka dapat dipersalahkan. 

Namun hingga saat ini, Jokowi belum secara langsung menunjukkan ijazah aslinya kepada publik. Ketidakhadiran dokumen autentik inilah yang terus memperpanjang kontroversi dan membuka ruang bagi spekulasi yang tak kunjung usai.

Oleh karena itu, saya menyimpulkan bahwa polemik ini sebenarnya bisa diakhiri dengan cara yang sederhana dan elegan. Tidak perlu sampai dibawa ke ranah hukum. 

Jika sejak awal Jokowi bersedia menunjukkan ijazah aslinya secara terbuka, maka semua keraguan akan sirna. Prasangka akan gugur, dan yang terpenting, energi bangsa tidak lagi tersita untuk memperdebatkan isu administratif yang sejatinya mudah dibuktikan.

Sayangnya, persoalan ini telah menyeret sejumlah nama ke ranah hukum. Sulit dipercaya bahwa seorang presiden bisa dikaitkan dengan dugaan pemalsuan ijazah, apalagi dari UGM, salah satu universitas terbaik di Indonesia. 

Dalam setiap pencalonan, baik sebagai walikota, gubernur, maupun presiden, KPU tentu telah melakukan verifikasi terhadap keabsahan dokumen, termasuk ijazah.

Namun demikian, meskipun telah ada verifikasi resmi, bahkan klarifikasi dari pihak UGM, tuduhan pemalsuan ijazah tetap bergulir. 

Beberapa orang bahkan harus berhadapan dengan hukum karena isu ini. Bambang Tri Mulyono, penulis buku Jokowi Undercover, serta penceramah Sugi Nur Rahardja (Gus Nur), harus mendekam di penjara usai ditetapkan sebagai terpidana penyebaran ujaran kebencian dan/atau penistaan agama. Mereka dijerat berdasarkan konten video yang diunggah melalui kanal YouTube “Gus Nur 13 Official”.

Di sisi lain, Jokowi juga telah melaporkan lima nama yang dianggap menyebarkan tuduhan tak berdasar ke Polda Metro Jaya. Jokowi menyampaikan laporan ini pada Rabu 30 April 2025 dengan menumpang mobil Toyota Kijang Innova dengan nomor polisi B 2329 SXL.

Kini, publik menanti akhir dari drama panjang ini. Sebagai mantan pemimpin tertinggi negara, transparansi adalah sebuah keniscayaan. 

Isu ini bukan sekadar soal hukum, tetapi menyangkut integritas dan kepercayaan publik. Bila terus dibiarkan tanpa penyelesaian yang tuntas, masyarakat akan terus bertanya-tanya tanpa jawaban pasti.

Dan mungkin, pada akhirnya, pertanyaan itu akan tetap menggantung sebagai mister. Yang hanya bisa dijawab oleh “rumput yang bergoyang.” Wallahu a’lam bish shawab.

Oleh: Sugiyanto
Penulis adalah Ketua Himpunan Masyarakat Nusantara (Hasrat)
______________________________________
Disclaimer: Rubrik Kolom adalah media masyarakat dalam menyampaikan tulisannya. Setiap Opini di kanal ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab Penulis dan oposisicerdas.com terbebas dari segala macam bentuk tuntutan. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan ini maka sesuai dengan undang-undang pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawabnya kepada penulis Opini. Redaksi oposisicerdas.com akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang sebagai bagian dari hak jawab.

Iklan

×
Berita Terbaru Update
close