Mengenal Eigendom Verponding: Warisan Kolonial Belanda yang Masih Menjadi Masalah -->

Notification

×

Kategori Berita

Cari Berita

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Tag Terpopuler

Mengenal Eigendom Verponding: Warisan Kolonial Belanda yang Masih Menjadi Masalah

Sunday, May 18, 2025 | May 18, 2025 WIB | 0 Views Last Updated 2025-05-18T14:49:30Z

Di tengah maraknya kasus sengketa lahan dan praktik mafia tanah di berbagai daerah, istilah "Eigendom Verponding" kembali mencuat ke permukaan.

Banyak masyarakat bertanya-tanya, apa sebenarnya dokumen ini?

Mengapa dokumen warisan penjajahan Belanda bisa kembali digunakan di negeri yang sudah 80 tahun merdeka?

Tulisan ini akan mengulas secara sederhana dan menyeluruh apa itu dokumen Eigendom Verponding.

Bagaimana sejarahnya, serta apakah dokumen ini masih berlaku di Indonesia saat ini.

Asal Usul Eigendom Verponding

Eigendom berasal dari bahasa Belanda yang berarti hak milik.

Sementara itu, Verponding adalah istilah perpajakan atas tanah bangunan yang juga berasal dari sistem hukum kolonial Belanda.

Pada masa pemerintahan Hindia Belanda, tanah-tanah yang berada di wilayah jajahan dicatat dan diadministrasikan dalam bentuk "Eigendom Verponding", yang berfungsi sebagai bukti kepemilikan atas tanah.

Sistem ini digunakan sebelum lahirnya sistem pertanahan nasional Indonesia seperti yang kita kenal sekarang.

Dokumen Eigendom Verponding umumnya berupa lembaran tua berisi nomor, ukuran bidang tanah, lokasi, dan nama pemilik pada masa itu.

Namun dokumen ini bukan sertifikat hak milik seperti Sertifikat Hak Milik (SHM) yang diterbitkan oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN) saat ini.

Apakah Eigendom Verponding Masih Berlaku?

Pertanyaan ini kerap muncul dalam berbagai kasus hukum yang menyangkut tanah. Jawaban sederhananya, tidak sepenuhnya berlaku.

Setelah Indonesia merdeka, pemerintah mengesahkan Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) No. 5 Tahun 1960.

Dalam Pasal 1 UUPA disebutkan bahwa hukum agraria kolonial, termasuk hukum tanah warisan Belanda, tidak lagi berlaku, dan seluruh aturan pertanahan harus tunduk pada hukum nasional Indonesia.

Lebih tegas lagi, Pasal 33 UUPA menyebutkan bahwa hak-hak lama seperti eigendom, harus dikonversi menjadi hak milik sesuai sistem pertanahan nasional, dalam jangka waktu tertentu.

Artinya, sejak tahun 1960, semua pemegang dokumen eigendom diberikan waktu selama 20 tahun (hingga tahun 1980) untuk mengurus konversi menjadi sertifikat resmi di bawah sistem BPN.

Jika tidak dikonversi, maka dokumen tersebut secara hukum tidak lagi memiliki kekuatan sebagai bukti kepemilikan tanah.

Namun dalam praktiknya, banyak dokumen eigendom lama yang belum dikonversi atau bahkan sengaja “diaktifkan kembali” oleh mafia tanah untuk menggugat tanah yang sudah dikuasai masyarakat atau negara.

Mengapa Masih Digunakan di Pengadilan?

Meskipun secara hukum UUPA telah menggugurkan kekuatan hukum eigendom, kenyataannya ada sejumlah perkara di pengadilan yang masih menerima dokumen ini sebagai alat bukti.

Terutama jika tidak ada sertifikat lain yang lebih kuat atau jika proses konversi dianggap tidak sah.

Inilah celah hukum yang sering dimanfaatkan oleh mafia tanah, yaitu dengan:

1.Menggunakan dokumen eigendom tua (yang kadang didapat dari lelang, warisan, atau dokumen yang dimanipulasi),

2.Mengklaim bahwa mereka adalah ahli waris atau pemilik sah,

3.Menggugat pemerintah atau warga yang menghuni lahan tersebut,

4.Dan memanfaatkan celah birokrasi atau aparat penegak hukum yang lemah.

Dalam beberapa kasus, gugatan dengan dokumen eigendom bisa dimenangkan di pengadilan tingkat pertama atau bahkan banding, meskipun sangat bertentangan dengan semangat reforma agraria.

Apa yang Harus Dilakukan Warga?

Jika Anda tinggal atau memiliki tanah yang pernah terdata sebagai tanah eigendom, langkah paling penting adalah memastikan legalitas tanah Anda sesuai hukum pertanahan nasional, yaitu dengan:

1.Mengurus sertifikat tanah resmi melalui BPN jika belum memiliki.

2.Memastikan status lahan melalui peta bidang dan riwayat tanah.

3.Menghindari pembelian lahan yang hanya dilandasi dokumen verponding atau eigendom yang belum dikonversi.

4.Melaporkan jika ada gugatan dengan dasar dokumen tua, terutama jika dilakukan oleh pihak ketiga yang bukan pewaris sah atau tidak punya bukti hubungan hukum.

Negara Harus Hadir

Persoalan dokumen eigendom tidak bisa hanya dibebankan kepada warga.

Negara, melalui BPN, Kementerian ATR, pemerintah daerah, hingga aparat penegak hukum.

Harus secara aktif melindungi tanah-tanah yang sudah menjadi aset negara dan milik warga dari klaim-klaim fiktif berdasarkan dokumen masa lalu.

Jika tidak, maka warga akan terus menjadi korban mafia tanah dan mafia hukum yang menjadikan dokumen tua sebagai senjata untuk merampas tanah yang sudah dihuni puluhan tahun secara sah.

Dokumen Eigendom Verponding adalah peninggalan masa kolonial yang sudah tidak lagi relevan dengan sistem pertanahan Indonesia.

Meskipun begitu, masih ada pihak-pihak yang mencoba menghidupkan kembali dokumen ini untuk mengambil alih lahan-lahan strategis di kota-kota besar.

Untuk itu, pemahaman masyarakat dan ketegasan negara sangat dibutuhkan agar sistem hukum agraria Indonesia benar-benar berpihak kepada keadilan sosial.

Bukan kepada kepentingan segelintir orang yang ingin memanfaatkan celah hukum demi keuntungan pribadi.

Sumber: suara
Foto: Warga perumahan Pemda Manggala Kota Makassar berunjuk rasa menolak praktik mafia tanah, Minggu 18 Mei 2025 [Suara.com/Muhammad Yunus]

Iklan

×
Berita Terbaru Update
close