Dalam beberapa pekan terakhir, kabar mengejutkan datang dari dunia penyiaran televisi nasional. Rubrik olahraga pagi di Kompas TV resmi berhenti tayang. Di saat yang hampir bersamaan, Biro Inews menutup beberapa kantornya. Gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) pun terjadi secara massif: Kompas TV melepas 150 pegawai, TV One 75 orang, CNN Indonesia TV bahkan mencapai 200 orang. VIVA.co.id disebut akan menutup kantornya di Pulogadung bulan depan, sementara Emtek memangkas 100 staf, dan MNC melakukan konsolidasi dari 10 pemimpin redaksi menjadi hanya 3. Ini bukan hanya alarm krisis—ini adalah guncangan struktural.
Sekitar satu dekade lalu, media cetak mengalami kemunduran dramatis. Harian-harian legendaris seperti Sinar Harapan, Jakarta Globe, hingga Republika satu per satu berhenti terbit atau memperkecil oplahnya. Biaya cetak yang tinggi, distribusi yang rumit, dan pergeseran minat pembaca ke media daring menjadi penyebab utama. Kini, tampaknya industri televisi mengalami “deja vu” dalam bentuk yang berbeda namun substansinya serupa.
Tekanan utama datang dari dua arah: biaya operasional yang tinggi, dan menurunnya pemasukan dari iklan. Produksi konten televisi—terutama berita, talkshow, dan feature—menuntut kru, alat produksi mahal, serta jaringan distribusi siaran yang luas dan mahal. Sementara itu, iklan—urat nadi utama media—mengalir deras ke platform digital seperti YouTube, Instagram, TikTok, bahkan podcast.
Dulu, prime time televisi di malam hari menjadi ajang rebutan perhatian. Kini, konsep itu memudar. Pengguna memilih sendiri waktu dan konten yang mereka konsumsi. Netflix, YouTube, hingga kanal TikTok dengan algoritma personalisasi telah menggeser “otoritas siaran” dari ruang redaksi ke ruang privat para kreator.
Di sisi lain, berita dan informasi cepat dikonsumsi dalam bentuk potongan video berdurasi pendek, live streaming, atau konten naratif ringan di media sosial. Kecepatan, aksesibilitas, dan keterlibatan pengguna menjadi nilai jual yang tak dimiliki televisi konvensional. Generasi muda bahkan mulai menyamakan TV dengan “media orang tua”.
Sebenarnya, peluang masih terbuka bagi televisi untuk bertahan—bila mampu bertransformasi. Namun banyak media televisi besar terhambat oleh struktur birokrasi internal dan warisan model bisnis lama. Tidak semua pemilik stasiun televisi mampu atau mau berinvestasi dalam digitalisasi konten, membangun kanal YouTube, menyusun strategi media sosial, atau membentuk tim kreator lintas platform.
Bandingkan dengan kreator independen seperti Deddy Corbuzier, Arief Muhammad, atau Gritte Agatha yang memiliki jutaan penonton setia dan penghasilan dari endorsement maupun AdSense. Mereka tidak perlu gedung kantor, kru besar, dan lisensi siaran, namun bisa menjadi “TV mini” di ruang digital.
Ada ancaman besar ketika jurnalisme profesional dikalahkan oleh konten viral. Akurasi, keberimbangan, dan verifikasi bisa tergantikan oleh clickbait, sensasionalisme, dan opini subjektif. Jika televisi sebagai media yang (dulunya) menjaga standar jurnalistik kehilangan daya hidupnya, maka informasi publik bisa makin terfragmentasi, bias, dan dangkal.
Kita harus ingat, televisi pernah menjadi instrumen demokrasi, pemantau kekuasaan, dan medium edukasi publik. Jika semua itu tergerus, maka bukan hanya industri yang runtuh, tapi kualitas demokrasi dan literasi publik ikut terganggu.
Solusinya bukan sekadar “go digital”, tapi mengubah paradigma. Televisi harus melihat dirinya bukan lagi sebagai stasiun siaran, tapi sebagai konten house atau produsen narasi. Platform boleh berubah, tetapi nilai harus tetap: jurnalisme yang bermutu, konten yang orisinal, dan koneksi emosional dengan audiens.
Kemitraan dengan kreator digital, produksi konten yang relevan dan ringan, pemanfaatan teknologi AI untuk personalisasi dan data analitik, serta penguatan kanal media sosial harus menjadi langkah konkret.
Seperti media cetak yang gagal beradaptasi lalu tumbang, televisi pun akan bernasib serupa jika terus bertahan pada cara lama. Tapi bagi yang mampu bertransformasi, krisis ini bukan akhir, melainkan awal dari babak baru. Televisi tak harus mati—ia hanya perlu berevolusi. Seperti yang dikatakan Darwin, bukan yang terkuat yang bertahan, tapi yang paling mampu beradaptasi terhadap perubahan.
Oleh: Rokhmat Widodo
Pengamat Politik dan Komunikasi, Kader Muhammadiyah Kudus
______________________________________
Disclaimer: Rubrik Kolom adalah media masyarakat dalam menyampaikan tulisannya. Setiap Opini di kanal ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab Penulis dan oposisicerdas.com terbebas dari segala macam bentuk tuntutan. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan ini maka sesuai dengan undang-undang pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawabnya kepada penulis Opini. Redaksi oposisicerdas.com akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang sebagai bagian dari hak jawab.