Belajar dari Bentrokan berdarah di Rwanda: Refleksi Sosiologis -->

Notification

×

Kategori Berita

Cari Berita

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Tag Terpopuler

Belajar dari Bentrokan berdarah di Rwanda: Refleksi Sosiologis

Sunday, June 1, 2025 | June 01, 2025 WIB | 0 Views Last Updated 2025-06-02T14:21:02Z

 

 

Oleh : Gratia Wing Artha,sosiolog muda dari Unair, kini dosen Fisip Universitas Nasional


MUSIM MENJAGAL

( SEJARAH KELAM DI RWANDA)

       Konflik sosial yang melibatkan antar-suku di Rwanda yang terjadi pada tahun 1990-an dapat dikatakan sebagai salah satu konflik yang mengakibatkan peristiwa genosida berdarah dalam sepanjang sejarah Afrika. Konflik sosial ini diakibatkan hubungan yang sejak awal tidak harmonis antara Suku Hutu yang merupakan kelompok mayoritas di Rwanda dengan Suku Tutsi yang merupakan kelompok minoritas. Konflik kedua suku ini menjadi semakin besar semenjak Rwanda merdeka dan terlepas dari penjajahan Belgia. Film yang berjudul “Hotel Rwanda” menceritakan konflik sosial yang berujung pada aksi genosida Suku Hutu terhadap Suku Tutsi melalui kacamata pengalaman seorang anggota Suku Hutu bernama Paul Rusesabagina yang sehari – hari bekerja sebagai manajer hotel terkemuka di Rwanda. Dari sinilah Paul Rusesabagina mulai menceritakan pengalaman mengerikan tentang genosida berdarah yang dilakukan Suku Hutu terhadap Suku Tutsi dengan kejam dan kehilangan naluri kemanusiaan.

Film Hotel Rwanda diawali dengan suasana di Kigali, Rwanda tepatnya pada tahun 1994. Pada hari itu Paul Rusesabagina seperti biasanya menjalankan kesehariannya sebagai manajer  di salah satu Hotel terkenal Rwanda, yakni Hotel De Miles Colines yang pengunjugnya adalah wisatawan asing yang kebanyakan oorang – orang Eropa. Identitas Paul Rusesabagina adalah seorang Hutu sementara istrinya yang bernama Titania merupakan keturuan Suku Tutsi. Karena pernikahan ini Paul Rusesabagina dimusuhi dan dianggap sebagai pengkhiat oleh etnisnya sendiri yakitu etnis Hutu. Salah satu kenalannya yang juga penyuplai kebutuhan hotel bernama George Rutaganda sekarang ini memperoleh jabatan sebagai milisi brutal anti Tutsi yang disebut Interhamwe gagal mengajak dan membujuk Paul bergabung dalam kelompoknya.

Pada saat yang bersamaan televisi memberitakan tentang  adanya upaya damai yang diprakarsai oleh PBB antara pemerintah yang diwakili oleh presiden yang berasal dari Suku Hutu dan pemimpin kelompok pemberontak Suku Tutsi untuk menandatangani perjanjian yang saling sepakat untuk berdamai dan gencatan senjata. Namun, sebelum perjanjian perdamaian ditandatangani presiden dikabarkan telah terbunuh dan yang dituduh sebagai otak pembunuhan adalah kelompok pemberontak yang berasal dari Suku Tutsi. Kabar ini lantas menyebar ke seluruh rakyat Rwanda. Tidak terkecuali Paul Rusesabagina dan keluarganya yang mendengar berita terbunuhnya presiden. Sebenarnya bagi Paul Rusesabagina seorang Hutu yang tidak berminat sama sekali pada politik peristiwa ini sungguh diluar nalarnya. Setelah itu bangkitlah peristiwa berdarah atau dapat disebut sebagai musim membunuh. Pembunuhan besar – besaran yang dilakukan. Pembantaian yang dipimpin oleh jenderal Augustin Bizimungo berhasil membantai warga negara yang berasal dari Suku Tutsi pada dasarnya berlandaskan politik dan kebencian yang tertanam sejak lama. Bahkan, tidak jarang pembantaian ini menyangkut pemerasan dan kepentingan pribadi sang Jenderal  Augustin Bizimungo. Sementara PBB yang pada awalnya mulai dapat mengendalikan keadaan menjadi tidak dapat banyak berkutik. Perhatian dan simpati dunia internasional terhadap konflik di Rwanda menjadi semakin surut dan semakin jarang terdengar. Peristiwa mundurnya pihak PBB sebagai ditandai dengan penarikan pasukan ke perbatasan serta pengiriman pasukan yang hanya menjemput dan memulangkan para wisatawan internasional di Rwanda, termasuk para jurnalis yang sedang meliput  pembantaian berdarah yang sedang tejadi. Sementara itu warga Rwanda yang berasal dari Suku Tutsi dibiarkan begitu saja dihabisi oleh para pembantai yang berasal dari Suku Hutu. Kondisi politik di negerinya membuat Paul Rusesabagina resah dan tersentuh rasa kemanusiaannya atas musibah yang menimpa Suku Tutsi dan menyayangkan tindakan genosida brutal yang dilakukan oleh pemerintah yang didominasi oleh Suku Hutu. Dari sinilah Paul Rusesabagina memutuskan untuk mengungsikan warga yang berasal dari Suku Tutsi ke hotel tempatnya bekerja sekarang ini. Warga Suku Tutsi yang diungsikan Paul Rusesabagina meliputi  keluarga istrinya, tetangga sekitarnya, bahkan warga Suku Tutsi dari kota lain yang tengah terancam kondisi musim menjaga (genosida berdarah).

Untuk memperkuat strategi evakuasi penyelamatan Suku Tutsi Paul Rusesabagina yang sudah diberikan kepercayaan oleh pemiliki Hotel De Miles Colines tempatnya bekerja untuk mengurus Hotel De Miles Colonies selama peristiwa konflik berdarah berlangsung. Lantas, Paul Rusesabagian memanfaatkan kesempatan ini untuk menarik tagihan sewa kamar dan pelayanan kepada para pengungsi. Hal ini dilakukannya karena dia tahu bahwa Hotel De Miles Colonies dalam kondisi apapun tetap memberikan layanan yang berkalitas dan berkelas kepada seluruh tamunya. Melalui uang yang telah dikumpulkannya Paul Rusesabagina merayu dan menyuap Jenderal Augustin Bizimingo yang merupakan salah satu petinggi penting di militer. Paul Rusesabagina memiinta kepada Jenderal Augustin Bizimungo unuk menempatkan pasukannya agar dapat melindungi hotel. Setelah Kolonel Oliver dari pasukan PBB bersama segelintir pasukannya telah berjaga untuk mengamankan teritorial perbatasan.

Di tengah genosida berdarah dengan susah payah dan penuh perjuangan Paul rusesabagina dengan berlandaskan pada keberanian dan rasa kemanusiaan telah menyelamatkan lebih dari seribu dua ratus pengungsi Suku Tutsi dari amuk dan pembataian massal. Tindakan Paul Rusesabagina yang heroik dan manusiawi ini sangat jarang dilakukan oleh sebagian besar orang terlebih ketika sedang berani pada situasi berbahaya yang dapat mengancam dirinya sendiri dan keluarganya. Terlebih pembantaian tidak ada tanda - tanda surut karena kebencian Suku Hutu yang memanas lantaran Presiden Habyarimana yang berasal  dari Suku Hutu terbunuh ketika menandatangani perjanjian damai antara Suku Hutu dan Suku Tutsi yang dimediasi oleh pihak PBB. Bahkan, setelah melihat kondisi sosial dan politik yang semakin tidak terkendali pihak PBB seakan menyisih dan angkat kaki sedikit demi sedikit.

Kebrutalan dan kebencian Suku Hutu terhadap Suku Tutsi yang sejak awal masa penjajan Belgia sudah tumbuh dan dipendam menjadi menguap setelah tewasnya Presiden Habyarimana yang dihormati oleh warga Suku Hutu. Kemudian terjadilah apa yang dapat disebut sebagai “ Amuk Suku Hutu” yang melaksanakan pembatian besar - besaran terhadap warga yang berasal dari Suku Tutsi. Dalam melancarkan aksinya para pembantai dari Suku Hutu mengidentifkasi warga yang berasal dari Suku Tutsi setelah diketahui identitas mereka mulailah aksi pemerkosaan kepada perempuan Suku Tutsi, penyiksaan, dan pembunuhan dengan cara - cara yang sadis. Kondisi ini membuat Rwanda dilanda suasana mencekam setiap harinya, ketakutan seolah melanda, dan suasana diliputi aura kematian dimana - mana. Tidak terkecuali wisatawan internasional yang sedang berada di Rwanda juga merasakan aura mengerikan dari aksi brutal genosida yang tengah terjadi. Sementara Paul Rusesabagina terus - menerus tetap mengusahakan yang terbaik untuk dapat melindungi istrinya yang berasal dari Suku Tutsi, anak - anaknya yang campuran Tutsi, keluarga istrinya, dan seluruh warga Suku Hutu yang sekarang bernaung di hotel tempatnya bekerja. Disini Paul Rusesabagina mencoba sekuat tenaga untuk menguatkan psikologis orang - orang yang ada di sekitarnya dan berupaya menguatkan psikologisnya sendiri yang dilanda ketakutan akibat pembantaian yang tidak manusiawi. Tidak hanya itu Paul Rusesabagian juga harus membantu ribuan pengungsi yang tidak dikenalnya yang memohon dan membutuhkan perlindungan darinya dari peristiwa genosida dan amuk kesukuan yang tengah mencekam di Rwanda, dan Rwanda tengah berada pada “genangan banjir darah” yang mengerikan. Tidak ada jalan lain bagi Paul Rusesabagian selain menjalankan permainan dan strategi “kotor’’ ini semua dia lakukan untuk tujuan keselamatan dan kemanusiaan di tengah situasi yang kacau  dan tidak menentu kapan aksi genosida berdarah ini akan surut dan PBB mulai melakukan intervensi demi keamanan. Bahkan, kamp pengungsian PBB telah penuh dengan lautan pengungsi sehingga sebagian besar pengungsi terpaksa dipindahkan ke hotelnya yang dinilai mencukupi dan aman. Kemudian mulailah Paul tanpa sengaja mulai mempraktikkan politik yang selama ini dibecinya dengan menyuap aparat militer demi tujuan yang diyakininya mulia.

Ditambah lagi pasukan penjaga keamanan PBB yang ditugaskan untuk mewujudkan perdamaiaan di Rwanda tidak dapat bertindak secara tegas terhadap kelompok interhamwe. Bahkan, Kolonel Oliver dan pasukannya yang berjumlah kecil dilarang oleh PBB untuk ikut campur masalah internal negara Rwanda yang melibatkan konflik antara suku mayoritas dan suku minoritas. Disini Oliver sebagai seorang militer yang manusiawi merasa tertekan dengan posisinya yang sekarang dan mempertanyakan komitmen PBB untuk menjaga perdamaian dunia. Keadaan semakin diperparah ketika kelompok interhamwe menyerang hotel tempat para pengungsi Suku Tutsi berada secara  kejam dan terlihat kelompok Interhamwe Huti seperti haus akan darah para pengungsi Tutsi yang berada di Hotel. Disamping itu Paul Rusesabagina tenga dilanda depresi akibat pembantaian yang tidak ada habis - habisnya dan ketidakjelasan penyelesaian genosida terkutuk itu. Pasukan PBB yang berjumlah tidak banyak berupaya untuk melakukan evakuasi terhadap para pengungsi Suku Tutsi, istri Paul dan anakk - anaknya  juga ikut menjalani evakuasi. Hanya Paul sendiri yang memutuskan tetap di hotel untuk terus memantau situasi sosial - politik yang semakin hitam pekat. Akan tetapi, ketika truk pasukan PBB yang membawa para pengungsi Suku Tutsi sedang berada di perjalanan terjadi serangan mendadak dari kelompok radikal interhamwe. Namun, untungnya pasukan PBB dapat melindungi ara pengungsi Tutsi dan melarikan diri, kemudian memutuskan untuk kembali ke hotel sebagai alternatif pilihan terbaik. Paul Rusesabagina yang mengetahui kejadian itu berupaya melakukan negosiasi dengan  Jenderal Bizimungu untuk menyelamatkan pengungsi dengan imbalan sejumlah uang dan minuman keras. Akan tetapi Jenderal Bizimungu menolak permintaan Paul, setelah berfikir keras Paul menemukan cara untuk memaksa Jenderal Bizimungu dengan ancaman membocorkan kebusukan Jenderal Bizimungu kepada pasukan PBB yang nantinya akan membuat nama sang jenderal tercoreng sebagai “penjahat perang”. mendengar ancaman keras dari Paul dengan terpaksa Bizimungi menuruti permintaan Paul dan mengerahkan pasukannya ke hotel yang saat itu tengah deserang kelompok Hutu radikal  Interhamwe. Setelah melalui pertempuran tembak - menembak  Jenderal Bizimungu dan pasukannya berhasil memukul mundur kelompok Interhamwe.

Menyaksikan peristiwa mengenaskan yang ada di sekitar hotel Paul menjadi panik dan khawtir akan keselamatan keluarganya. Ketika itu juga Paul mulai berspekulasi keluarganya telah melaksanakan apa yang telah dia perintahkan, yakni bunuh diri ketika kelompok radikal Interhamwe datang menyerang. Dengan pikiran yang dilanda rasa bersalah Paul terus mencari hingga menemukan keluarganya yang tengah bersembunyi di kamar mandi dengan  ekspresi penuh ketakutan besar dan trauma yang menyakitkan memori.

Setelah keadaan mulai sedikit terkendali dengan  datangnya bantuan dari pasukan PBB.  Paul dan keluarganya beserta para pengungsi Suku Hutu lainnya sampai akhirnya  sampai ke garis depan yang dikuasai oleh kelompok perlawanan yang berasal dari Suku Tutsi. Ketika berada di tempat penguungsian Paul dan keluarganya menemukan dua gadis kecil keponakan yang berasal dari keluarga istrinya yang sampai saat ini kedua orang tua dua gadis kecil itu belum diketahui keberadaan mereka. Kemudian Paul mengajak keluarga beserta dua keponakan kecilnya untuk meninggalkan Rwanda dengan segala kenangan genosida berdarah yang tidak akan ppernag mereka lupakan seumur hidup mereka. 



ANALISA SOSIOLOGIS : POLITIK PECAH BELAH YANG MELAHIRKAN SEJARAH BANJIR DARAH DI RWANDA

Melalui film yang berjudul Hotel Rwanda yang ditayangkan pada tahun 2004 Terry George sebagai sutradara berhasil menarasikan konflik antara Suku Hutu dan Suku Tutsi secara mendalam. Dimulai dengan konflik yang bersifat politis dan dilanjutkan dengan konflik yang lebih bersifat sosial dan kultural. Pada film ini dapat dilihat  bahwa konflik yang berawal pada identitas dapat menjadi sangat berbahaya dan mengakibatkan pada hilangnya rasa kemanusiaan. Dalam hal ini konflik yang berakar pada identitas kelompok pada dasarnya akan mengakibatkan  rasa saling curiga dan rasa ingin membinasakan antar kelompok. Tidak jarang konflik yang bermuara dan berlandaskan identitas kelompok suku akan menyebabkan trauma sejarah baik itu bagi kelompok yang menindas maupun ditindas. Hal ini tidak mengherankan bila meski konflik tersebut sudah selesai memori konflik akan tetap diwariskan kepada generasi selanjutnya dan kebencian kesukuan atau etnisitas itu akan tetap hidup, meskipun lahir dalam bentuk atau versi yang lain.

Sekitar delapan puluh lima persen warga Rwanda merupakan Suku Hutu dan sisanya adalah kelompok minoritas , yakni Suku Tutsi dan kelompok etnis lain yang jumlahnya lebih kecil. Meski dikatakan sebagai salah satu Suku minoritas di Rwanda sejak masa pemerintah kolonial Belgia para anggota Suku Tutsi memperoleh kedudukan terhormat  dalam jajaran pemerintah setara dengan warga keturunan Belgia. Disinilah akar dari kecemburuan sosial dan api dalam sekam yang mulai timbul pada Suku Hutu melihat keberhasilan dan hak istimewa yang dimiliki oleh Suku Tutsi.

Dalam sejarah Rwanda telah tercatat terdapat konflik sosial sebelum dimulainya genosida Suku Hutu atas Suku Tutsi 1994. Konflik antar-suku tersebut tercatat dengan nama peristiwa revolusi Rwanda 1959. Pada saat itu sistem pemerintahan Rwanda masih berstatus monarki yang dipimpin oleh Suku Tutsi sebagai perpanjangan tangan pemerintahan kolonial Belgia. Yang mana pada dasarnya merupakan strategi pemerintahan penjajah di dunia, tidak terkecuali dilakukan oleh pemerintahan kolonial Belgia pasti akan selalu melakukan politik pecah belah atau adu domba antara kelmpok mayoritas dan kelompok minoritas. Berdasarkan besarnya jumlah penduduk dapat dikatakan bahwa status mayoritas di Rwanda diwakili oleh Suku Hutu dan minoritas diwakili oleh Suku Tutsi. Pemerintah penjajah Belgia pada waktu itu mencoba melahirkan ‘kecemburuan sosial” Suku Hutu terhadap Suku Tutsi dengan menjadikan Suku Tutsi sebagai prioritas atau pada praktik sosial Suku Tutsi menempati posisi warga kelas dua dibawah warga pendatang dari Belgia yang menjadi warga kelas satu. Hal ini semakin diperkuat dengan monarki Tutsi yang berkuasa di Rwanda sejak abad ke- 18 melalui monarki Tutsi kekuasaan kolonial Barat seperti Jerman dan Belgia menjadikan para penguasa dari Suku Tutsi sebagai wazir atau gubernur jenderal, bahkan tangan kanan untuk mencengkeram “jangkar kekuasaan di Rwanda”. Dari sinilah Suku Hutu merasa tidak dianggap sebagai kelompok mayoritas yang dikuasai oleh kelompok suku minoritas yang jumlahnya lebih kecil. Bahkan, dalam struktur kemasyarakatan ditempatkan pada posisi warga kelas tiga yang merupakan kelas terendah dalam status sosial pemerintahan kolonial Belgia pada saat itu. Kecemburuan sosial ini terus membesar dan melahirkan apa yang disebut dendam membara yang semula bersifat laten pada nantinya akan menjadi manifes saat momentum yang tepat. Lantas, terjadilah pembalikan arus sejarah di Rwanda dengan dimulainya peristiwa Revolusi Rwanda yang mendesak pemerintah kolonial Belgia untuk mengganti jajaran birokrasi pemerintahan dengan etnis Hutu. Lantaran dalam keadaan terdesak atas tuntutan Suku Hutu yang memiliki banyak massa dan takut akan terjadi kekacauan besar, maka diadakanlah pemilihan umum (Pemilu) tepat pada tahun 1960. Pemilu ini jelas menguntungkan Suku Hutu yang merupakan mayoritas hingga setelah pemilu selesai diumkanlah hasilnya bahwa pihak Suku Hutu yang memenangkan mayoritas suara. Dari sini dimulailah apa yang dapat disebut perputaran roda kekuasaan dimana biroktrasi di pemerintahan  dikuasai sepenuhnya oleh Suku Hutu hingga revolusi ini berhasil menekan Suku Tutsi yang sebagian besar memilih untuk bermigrasi ke negara - negara tetangga .  Sampailah pada momentum balas dendam yang dinantikan oleh Suku Hutu telah tiba ketika Rwanda menjadi negara yang merdeka dan kepemimpinan politik dikuasai oleh para tokoh Suku Hutu. Maka, politik diskriminasi dan penindasan sosial dilakukan oleh Suku Hutu  atas Suku Tutsi. Melihat perputaran roda yang menguntungkan Suku Hutu sebagian dari pemipin Suku Tutsi memilih untuk melakukan pemberontakan sebagai simbol perlawanan yang dilakukan oleh Suku Hutu. Melihat perlawanan ini para pemimpin Suku Hutu menjadi semakin membenci Suku Tutsi yang dinilai sejak masa pemerintahan kolonial Belgia banyak mendapatkan akses kemudahan dan kenyamanan yang tidak diperoleh oleh Suku Hutu. Oleh karena itu, Para pemimpin Suku Hutu mulai menyerukan bahwa Suku Tutsi sebagai ‘antek - antek bekas kolonial Belgia dan anjing peliharaan bekas kolonial Belgia”. Dari sini warga Rwanda yang mayoritas berasal dari Suku Hutu semakin membara semangat untuk menindas Suku Tutsi yang dulu dianggap begitu ‘angkuh’ lantaran menjadi suku ‘kesayangan’ pemerintah kolonial Belgia

Akan tetapi setelah peristiwa Revolusi Rwanda sekitar kurang lebih 336.000 Suku Tutsi terusir dan harus bermigrasi ke negeri- negeri tetangga. Lalu Dominique Mbonyumutwa yang bersuku Hutu menduduki jabatan sementara sebagai Presiden Rwanda yang pertama, tepatnya sejak pelengseran sistem pemerintahan monarki Tutsi  yang dikendalikan oleh kekuasaan Raja Kigali V Ndahindurwa. Selanjutnya kepemimpinan juga jatuh pada anggota Suku Hutu dengan diangkatnya Gregoire Kayibanda setelah melalui sistem pemihan umum  (Pemilu). Dari sinilah arus kekuasaan berganti pada Suku Hutu dan runtuhlah sistem monarki Tutsi yang bertumpu pada pemerintahan Kolonial Belgia dan tepat pada saat itu pada 1 Juli 1962 Rwanda menyatakan diri sebagai negara merdeka dari penjajahan Belgia. Namun, masih terdapat beberapa sisa- sisa mantan birokrat Suku Tutsi yang dahulu berjaya tidak terima atas penghinaan Suku Hutu yang dahulu posisinya ada di bawah mereka dan kelompok ini memproklamirkan diri  dengan nama Front Patriotik Rwanda disingkat FPR tepat pada tahun 1987.  FPR datang dari negara yang menampung mereka, yakni Uganda dan melancarkan perang yang dimulai pada 1 Oktober yang dikenal dengan  sebutan Perang Sipil Rwanda. Namun, berkat bantuan  dari Belgia, Perancis dan Kongo ( pada saat itu masih bernama Zaire) pasukan darat Rwanda berhasil memukul mundur pasukan FPR untuk kembali ke Uganda.

Salah satu warisan pemeritahan kolonial Belgia yang memisahkan secara diferensi dan stratifikasi Suku Hutu dan Suku Tutsi adalah melalui sistem dan praktik segregasi dalam kehidupan sosial. Sehingga kedua Suku ini ( Hutu dan Tutsi) tidak dapat saling menyapa dan saling memahami. Sistem segregasi sosial dan politik adu domba pemerintah kolonial Belgia melahirkan percikan api dalam sekam dari Suku Hutu mayoritas yang merasa dikalahkan oleh Suku Tutsi yang merupakan minoritas. Hingga munculah penciptaan segregasi antara Suku Hutu dan Suku Tutsi yang berkaca pada ciri fisik, yang mana Suku Tutsi (minoritas) digambarkan memiliki fisik yang lebih indah dengan hidung mancung dan perawakan tubuh yang tinggi, warna kulit lebih terang dari Suku Hutu, menduduki kelas sosial yang hampir setara dengan warga kelas satu (keturunan Belgia). Sampai akhirnya kebanggaan dan fase kajayaan Suku Tutsi berakhir dengan periode kemerdekaan Rwanda dan disinilah jarum jak telah bergerak. Suku Hutu melancarkan balas dendam yang semakin hari terlihat semakin tidak mengenal rasa belas kasihan kepada Suku Tutsi yang sejatinya merupakan saudara sebangsa dan setanah airnya.

Sebenarnya PBB dengan segala kemampuan dan diplomasi mencoba untuk memediasi Suku Hutu dan Suku Tutsi untuk membahas perjanjian perdamaian pada satu meja. Hingga pada akhirnya disepakati suatu perjanjian yang disebut dengan perjanjian Arusha yang memutuskan berbagi wilayah (teritorial) kekuasaan antara dua Suku. Namun, lagi - lagi terdapat penentang dari pihak konservatif Suku Hutu yang menyatakan itu sama saja dengan menjatuhkan diri pada musuh, yakni Suku Tutsi. Hingga pada akhirnya para konservatif Hutu berhasil mempengaruhi massa Suku Hutu untuk melakukan demonstrasi atas perjanjian Arusha. Demonstrasi berbasis etnisitas dan politik  identitas ini membuat kekacauan di Rwanda, meskipun pasukan PBB telah diturunkan untuk bersiaga, namun tidak berarti apa - apa di tengah - tengah massa Suku Hutu yang banyak, brutal, dan sedang dulanda amarah membara.

Kondisi politik identitas dan etnisitas ini semakin diperparah dengan tewasnya Presiden Rwanda mantan Juvenal Habyarimana serta yang pada waktu bersaamaan presiden Cyprien Ntaryamira dalam insiden penembakan pesawat tepat pada7 April 1994 yang berdampak mobilisasi pembantaian Suku Tutsi hingga melahirkan genosida banjir darah yang menggenangi Rwanda tepat pada saat itu juga.

REFLEKSI DAN KESADARAN ATAS SEJARAH KEMANUSIAAN

Dari sejarah genosida berdarah Rwanda kita dapat belajar bahwa sejarah terkadang sangat pahit. Kelompok yang kuat menindas yang lemah dan setelah kelompok yang lemah bangkit, roda sejarah kekuasaan menjadi berputar. Kelompok yang kini kuat dan berkuasa menindas kellompok yang dulu kuat dan kehilangan kekuasaan. Saya menyebut ini sebagai alur dehumanisasi dalam sejarah umat manusia. Tentu saja, manusia perlu belajar dari sejarah karena sejarah bisa saja berulang dimanapun dan kapapun. Oleh sebab itu kemanusiaan, persaudaraan harus diperkuat sehingga tidak melahirkan pemujaan atas kelompok etnis yang nantinya akan berakibat mengerikan pada catatan lorong sejarah manusia yang semakin merah bersimpah darah pergolakan politik identitas dan etnisitas.

REFERENSI :

Rwanda Banjir Darah : Sejarah Genosida  Suku Hutu Kepada Etnis Tutsi. Artikel tirto.id Selasa, 7 April 2020, Penulis Tony Firman

Buku Pemujaan Terhadap Kelompok Etnis (Identitas Kelompok Dan Perubahan Sosial), Penulis Harold R. Isacs. Terbitan Yayasan Pustaka Obor 1993.

 

Iklan

×
Berita Terbaru Update
close