Setiap 1 Juni bangsa Indonesia memperingati Hari Lahir Pancasila. Selama bertahun-tahun, saya hadir sebagai bagian dari generasi yang percaya bahwa Pancasila bukan hanya sekadar simbol atau hafalan di buku-buku pelajaran. Pancasila adalah pedoman hidup berbangsa dan bernegara. Namun, selama satu dekade terakhir, saya menyaksikan dengan mata kepala sendiri bagaimana Joko Widodo (Jokowi), presiden yang lahir dari rahim rakyat kecil, justru berbalik mengkhianati Pancasila.
Mengucapkan kata “pengkhianat” memang berat. Tapi saya, Beathor Suryadi, sebagai kader PDIP sekaligus aktivis ProDem, merasa wajib bersuara. Ini bukan sekadar amarah emosional; ini adalah suara nurani yang melihat, mencatat, dan menganalisis bagaimana nilai-nilai luhur yang tertuang dalam lima sila Pancasila dikoyak satu per satu oleh Jokowi.
Menggugat Sila Pertama: Ketuhanan yang Maha Esa
Pancasila mengajarkan kita untuk jujur, beriman, dan menjunjung tinggi moralitas. Tapi bagaimana kita bisa bicara soal moral kalau pemimpin tertinggi di negeri ini justru hobi berbohong?
Jokowi membohongi rakyat soal Mobil Esemka, yang sejak awal digembar-gemborkan sebagai produk nasional. Nyatanya? Hanya mobil rakitan, tanpa arah jelas, tanpa industri yang berdiri mandiri. Janji kosong. Begitu juga soal IKN (Ibu Kota Nusantara), yang katanya akan mengandalkan investasi swasta. Faktanya, APBN justru dibebani di tahap awal, sementara janji investor asing tinggal pepesan kosong.
Seorang pemimpin yang menjunjung Ketuhanan tidak akan tega mempermainkan kepercayaan rakyat. Kebohongan, manipulasi data, dan pencitraan adalah bentuk pengingkaran moral yang sangat serius.
Sila Kedua: Kemanusiaan yang Adil dan Beradab
Di bawah Jokowi, pembangunan infrastruktur memang masif. Tapi pembangunan itu sering menindas rakyat kecil. Penggusuran paksa terjadi di banyak tempat: untuk jalan tol, untuk proyek strategis nasional, untuk reklamasi. Mereka yang tergusur kehilangan rumah, tanah, mata pencaharian — dan sering kali tanpa ganti rugi yang manusiawi.
Bagaimana bisa bicara kemanusiaan kalau HAM diabaikan? Janji penyelesaian pelanggaran HAM berat seperti tragedi 1965, penculikan aktivis, pembunuhan Munir, hingga kasus Papua tidak pernah ditepati. Jokowi memilih kompromi politik dengan pelaku pelanggaran HAM demi kekuasaan. Ini bukan lagi soal ketidakmampuan, tapi soal niat.
Sila Ketiga: Persatuan Indonesia
Jokowi selalu menggaungkan persatuan. Tapi kenyataannya, di eranya polarisasi makin tajam. Publik dibelah menjadi “cebong” dan “kampret.” Bukan hanya itu, Jokowi membiarkan (bahkan memanfaatkan) para buzzer bayaran yang menyerang siapa pun yang kritis. Akademisi, aktivis, bahkan warga biasa jadi korban persekusi daring.
Persatuan sejati bukan berarti semua orang harus setuju. Persatuan sejati adalah keberanian mendengar suara berbeda, menghormati oposisi, dan merangkul perbedaan. Tapi di era Jokowi, perbedaan justru dijadikan senjata untuk mempertahankan kekuasaan.
Sila Keempat: Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan
Saya menyaksikan dengan getir bagaimana DPR berubah dari rumah rakyat menjadi perpanjangan tangan eksekutif. UU KPK direvisi meski ditolak rakyat. UU Cipta Kerja disahkan terburu-buru tanpa partisipasi publik. Semua demi kepentingan elite politik dan oligarki.
Rakyat kehilangan ruang untuk bermusyawarah. Semua keputusan besar lahir dari ruang-ruang gelap kekuasaan, bukan dari perwakilan yang benar-benar mendengar aspirasi rakyat. Demokrasi kita di era Jokowi kehilangan jiwanya.
Sila Kelima: Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia
Sila kelima adalah puncak dari cita-cita bangsa ini: keadilan sosial. Tapi apa yang terjadi? Kesenjangan melebar. Oligarki menguat. Kekayaan menumpuk di segelintir orang, sementara petani, nelayan, buruh, dan rakyat kecil berjuang mati-matian untuk sekadar bertahan hidup.
Program bansos sering dipakai sebagai alat politik, bukan sebagai instrumen keadilan. UMKM terdesak oleh kekuatan raksasa e-commerce. Petani menjerit karena pupuk langka. Nelayan kalah oleh proyek reklamasi. Di mana letak keadilan sosial yang selama ini dijanjikan?
Saya tidak asal bicara. Ini semua lahir dari pengamatan panjang, dari analisis kritis sebagai aktivis yang hidup di tengah rakyat. Jokowi bukan hanya gagal, tetapi telah dengan sadar menukar nilai-nilai luhur bangsa ini dengan kepentingan pragmatis, kompromi politik, dan kekuasaan.
Saya kecewa karena saya, seperti jutaan rakyat Indonesia, dulu berharap banyak pada Jokowi. Tapi hari ini saya melihat fakta: dia lebih memilih jalan kekuasaan daripada jalan kebenaran.
Tuduhan pengkhianatan ini harus jadi bahan refleksi bersama. Kita tidak bisa lagi berharap pada elite-elite politik yang sudah larut dalam permainan kekuasaan. Gerakan perubahan harus lahir dari bawah: dari rakyat yang sadar, dari aktivis yang berani bicara, dari akademisi yang tak takut kehilangan jabatan, dari buruh, petani, nelayan, yang bersatu menuntut perubahan.
Kalau Pancasila ingin tetap hidup, kita harus merebutnya kembali dari tangan kekuasaan yang korup. Kita harus memulihkan makna Pancasila sebagai ideologi rakyat, bukan sekadar jargon kosong di podium upacara.
Saya, Beathor Suryadi, menulis ini bukan karena benci. Saya menulis karena cinta — cinta pada bangsa ini, pada cita-cita proklamasi, pada darah dan keringat para pejuang yang telah mendirikan negeri ini dengan pengorbanan. Dan saya tidak akan berhenti bersuara, selama pengkhianatan ini terus terjadi di depan mata kita semua.
Oleh: Beathor Suryadi
Kader PDIP dan Aktivis ProDem
______________________________________
Disclaimer: Rubrik Kolom adalah media masyarakat dalam menyampaikan tulisannya. Setiap Opini di kanal ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab Penulis dan oposisicerdas.com terbebas dari segala macam bentuk tuntutan. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan ini maka sesuai dengan undang-undang pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawabnya kepada penulis Opini. Redaksi oposisicerdas.com akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang sebagai bagian dari hak jawab.