Kisah Prajurit Kopassus yang Selamat di Suhu -50 Derajat Celsius di Everest Berkat Doa Istri -->

Notification

×

Kategori Berita

Cari Berita

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Tag Terpopuler

Kisah Prajurit Kopassus yang Selamat di Suhu -50 Derajat Celsius di Everest Berkat Doa Istri

Thursday, December 29, 2022 | December 29, 2022 WIB | 0 Views Last Updated 2022-12-29T01:51:33Z

LEBSI NEWS - Menjadi pemegang tongkat komando tertinggi Kopassus tak membuat seorang Brigjen TNI Iwan Setiawan merasa asing. Ia mengaku seperti kembali ke rumah.

Abituren (lulusan) Akademi Militer 1992 ini memang mengawali karier militer di kecabangan infanteri Kopassus. Sebagian besar pengabdiannya juga berada di pasukan elite yang disegani dunia ini.

Di Korps Baret Merah pula tentara kelahiran Bandung, 16 Februari 1968 ini punya pengalaman dahsyat dan tidak akan terlupakan sepanjang hidup.

Iwan pernah berada di posisi antara hidup dan mati. Kekuatan doa dan tekad sekuat baja lah yang akhirnya membawa mantan Danyon 22/Grup 2 Kopassus ini mengukir sejarah gilang-gemilang. Kisah itu terjadi pada 1997.

Danjen Kopassus kala itu Brigjen TNI Prabowo Subianto menggagas Ekpedisi Kopassus-Indonesia Everest 1997. Ekpedisi kelas dunia ini untuk merayakan hari jadi ke-45 Kopassus dan menyambut HUT Kemerdekaan RI.

Ekpedisi juga melibatkan para pendaki terbaik Indonesia baik dari Kopassus maupun organisasi pencinta alam seperti Wanadri, hingga Mapala UI serta Federasi Panjat Tebing Indonesia (FPTI). Bertindak sebgai komandan lapangan yakni mendiang Jenderal TNI Pramono Edhie Wibowo.

Iwan menceritakan ketika itu dirinya baru lulus pendidikan komando. Tak berselang lama diumumkan adanya seleksi Tim Ekspedisi Everest 97. Bagi prajurit Kopassus, tugas merupakan kehormatan segala-galanya. Dia pun mengikuti seleksi.

“Alhamdulillah, saya menjadi salah satu perwira Akmil yang lolos dan lulus untuk ikut ekspedisi pendakian ini,” kata Iwan berkisah kepada tim Dispenad yang diunggah di akun YouTube resmi TNI AD belum lama ini.

Iwan sadar terlibat Ekspedisi Everest sama dengan bertaruh nyawa. Fakta mencatat tidak semua orang yang mencoba menggapai puncak tertinggi dunia itu sukses. Bahkan mantan Danpusdikpassus ini mengibaratkan dari 100 pendaki yang naik ke Atap Dunia tersebut kemungkinan hanya 10 yang berhasil.

“Dari 10 orang tersebut, kemungkinan tiga orang yang selamat,” ucapnya.

Antara Hidup dan Mati di Himalaya Ada cerita tersendiri sebelum keberangkatan ke gunung setinggi 8.884 meter dari permukaan laut itu. Iwan meminta izin Prabowo untuk menyunting pujaan hatinya, Betty Siti Supartini.

Waktu berjalan. Berbagai persiapan menuju ekpedisi itu terus dilakukan. Betty turut mengenang, keberangkatan sang suami merupakan saat-saat berat dan mendebarkan.

“Saya sudah hamil. Saya waktu itu sempat (merasa), aduh ini (bagaimana), kalau suami saya tidak kembali, anak ini tidak ada bapaknya,” tutur Betty, dalam video sama.

Tim Ekspedisi Kopassus akhirnya menginjak Nepal untuk memulai pendakian ke Himalaya. Iwan ingat betul bagaimana beratnya masa-masa awal berhadapan langsung dengan gunung es. Dia sempat jatuh sakit.

“Saya baru berjalan 100 meter muntah-muntah, kaget, karena memang tidak siap dengan cuaca dingin. Rupanya istri ikut merasakan (kalau saya sakit),” ucapnya.

Tentu saja tidak ada kata mundur. Sebagai satu-satunya perwira Akmil yang memimpin tim pendakian, Iwan terus menguatkan semangat. Prajurit Komando yang pernah menjadi Danrindam Jaya ini meyakini, doa istri yang rajin berpuasa Senin-Kamis, juga doa seluruh bangsa, dirinya sembuh.

Untuk diketahui, dalam ekspedisi ini Tim Kopassus terbagi dalam dua kelompok pendakian, yakni jalur utara dan selatan. Iwan memimpin tim di jalur selatan. Bersamanya antara lain Sertu Misirin dan Pratu Asmujiono. Mendaki Everest, kata dia, bak pertaruhan hidup dan mati.

“Bayangkan suhu minus 50 derajat Celcius. Sepanjang jalan banyak orang-orang meninggal,” tuturnya.

Perjalanan itu tak hanya sulit, tetapi mencekam. Pada ketinggian 8.500 meter dari permukaan laut, Iwan terjatuh kehabisan oksigen.

"Dalam bekapan cuaca sangat ekstrem yakni suhu minus 50 derajat Celcius di ketinggian 8.500 mdpl dengan tanah berpijak merupakan salju, Iwan limbung. Tanpa matras, juga tak ada sleeping bag. Saya kehabisan oksigen, antara hidup dan tidak,” tuturnya.

Dalam situasi kritis itu Iwan berdoa kepada Tuhan agar diberikan keselamatan untuk dapat menyelesaikan tugas dan kembali ke Tanah Air. Bayang-bayang istri yang sedang hamil menumbuhkan semangatnya.

Dalam kondisi yang dapat disebut titik nadir itu, Iwan tak menyerah. Dia bangkit dan bertekad untuk mencapai puncak. Doa itu terkabul. Setapak demi setapak dia terus melangkah. Akhirnya, bersama Asmujiono dan Misrin, Iwan mencatatkan sejarah emas. Tepat 26 April 1997, mereka mengibarkan Merah Putih di puncak dunia.

“Itu sangat-sangat mengharukan, dan saya sangat-sangat, betul-betul…,” tutur Iwan tercekat. “Saya betul-betul bersyukur. Bisa selamat di sana dan bisa kembali.”

Pengalaman mencium puncak Everest itu tak akan pernah dilupakannya. Atas kesuksesan dalam ekspedisi bersejarah ini, dia menamai putranya dengan nama gunung yang menjadi magnet bagi pendaki di seluruh dunia itu. Sang anak itu diberi nama: Arya Everest Setiawan.

Sumber: okezone

Iklan

×
Berita Terbaru Update
close