Kujang
Menurut Wawacan Jampang Manggung sejarah senjata pusaka kujang yang kini terkenal sebagai pusaka suku Sunda asal muasalnya berasal dari kerajaan Jampang Manggung. Kisahnya bermula dari senjata pusaka Prabu Kujang Pilawa yang disebut Tosa.
Senjata Tosa ini selalu dibawa sang Prabu terutama saat menghadapi musuh yang membahayakan negara dan selalu terbukti unggul ketika digunakan menghadapi lawan. Karena kekaguman terhadap kesaktian Prabu Kujang itulah, para kesatria membuat senjata yang serupa dengan Tosa.
Namun seiring perjalanan waktu nama Tosa pun berganti menjadi Kujang, bentuk tosa atau kujang yang menjadi senjata Prabu Kujang Pilawa berbeda dengan bentuk kujang yang dikenal sekarang. Senjata pusaka Kujang Pilawa bentuknya serupa pisau komando, hingga sekarang masih terawat dengan baik walaupun sudah berusia ratusan tahun.
Prabu Danu Sangkalang
Prabu Kujang Pilawa memerintah kerajaan Jampang Manggung selama 40 tahun. Dari sebelas anaknya, Kujang Pilawa memilih Danu Sangkalang anak sulungnya sebagai raja berikutnya sedangkan Sanjar Janggala anak keduanya diangkat sebagai patih.
Prabu Danu Sangkalang
Prabu Kujang Pilawa memerintah kerajaan Jampang Manggung selama 40 tahun. Dari sebelas anaknya, Kujang Pilawa memilih Danu Sangkalang anak sulungnya sebagai raja berikutnya sedangkan Sanjar Janggala anak keduanya diangkat sebagai patih.
Kujang Pilawa melanjutnya sisa hidupnya sebagai Ing Paya Gung hingga wafat. Jenazahnya dikebumikan dikampung Geger Bentang di suatu dataran tinggi di wilayah Desa Kuta Waringin Kecamatan Mande Kab. Cianjur sekarang.
Oleh warga setempat mendiang Prabu Jampang Manggung dikenal dengan sebutan Eyang Panggung, makamnya yang terdiri dari batu-batu kuno dikeramatkan warga dan kerap didatangi penjiarah dari berbagai daerah.
Prabu Danu Sangkalang adalah seorang raja yang juga pendeta setingkat Ing Paya Gung. Maka wajar sekali saat ia berkuasa langsung menghapus tradisi Bawil dan Ciling yang dianggap tidak manusiawi. Selain itu ia juga menghapus tradisi Ngayang. Tiga tradisi ini bukan ajaran Ajen Jampang Manggung namun tradisi yang sudah biasa dilakukan masyarakat.
Prabu Danu Sangkalang adalah seorang raja yang juga pendeta setingkat Ing Paya Gung. Maka wajar sekali saat ia berkuasa langsung menghapus tradisi Bawil dan Ciling yang dianggap tidak manusiawi. Selain itu ia juga menghapus tradisi Ngayang. Tiga tradisi ini bukan ajaran Ajen Jampang Manggung namun tradisi yang sudah biasa dilakukan masyarakat.
Tradisi Bawil adalah tradisi membalas dendam kepada seseorang. Pelaku yang akan melaksanakan balas dendam sebelumnya akan melaksanakan ritual pemujaan kepada roh-roh jahat. Ritual Bawil dimulai dengan menyediakan domba berbulu hitam atau kerbau dengan tanduk melengkung kebawah (kerbau dongkol).
Hewan tersebut kemudian disiksa hingga mati, setelah mati badannya dicincang. Hewan persembahan tersebut kemudian diambil bagian hati dan jantungnya lalu dimakan mentah-mentah oleh orang yang akan melaksanakan balas dendam. Selain memakan hati mentah, si pelaku balas dendam meminum darah hewan persembahan.
Ritual tersebut dilakukan sambil menari nari dan dalam kondisi mabuk minuman keras, dalam keadaan mabuk itulah sipelaku balas dendam ini memanggil roh- roh jahat agar menyertainya melaksanakan balas dendam.
Usai melaksanakan ritual, pelaku balas dendam akan mencari orang yang dibencinya untuk dibunuh. Apabila berhasil membunuh ia akan mencincang tubuh korban dan memenggal kepalanya. Darah korban balas dendam akan diminum pelaku balas dendam, selain itu bagian hati dan jantung korban akan dimakan mentah-mentah.
Usai melaksanakan ritual, pelaku balas dendam akan mencari orang yang dibencinya untuk dibunuh. Apabila berhasil membunuh ia akan mencincang tubuh korban dan memenggal kepalanya. Darah korban balas dendam akan diminum pelaku balas dendam, selain itu bagian hati dan jantung korban akan dimakan mentah-mentah.
Sedangkan kepala yang dipenggal akan dibawa pulang dan akan dipajang bertahun tahun didepan rumah pelaku hingga menjadi tengkorak, bila tidak dipajang didepan rumah, tengkorak korban disimpan di dapur dekat perapian.
Tradisi yang dihapus lainnya adalah tradisi Ciling yakni mengusir istri pejabat yang melahirkan bayi cacat. Warga Jampang Manggung meyakini bayi cacat yang dilahirkan istri pejabat akan membawa sial bagi negara.
Tradisi yang dihapus lainnya adalah tradisi Ciling yakni mengusir istri pejabat yang melahirkan bayi cacat. Warga Jampang Manggung meyakini bayi cacat yang dilahirkan istri pejabat akan membawa sial bagi negara.
Tradisi Ngayang adalah tradisi yang dihapus lainnya yakni tradisi menikahkan pasangan kembar. Setiap anak kembar berbeda kelamin kelak setelah dewasa akan ditikahkan, dan bila salah seorangnya meninggal dunia pasangannya dilarang menikah lagi seumur hidup.
Bila pasangannya menikah lagi dianggap suatu pelanggaran dan akan dikenakan sangsi berupa penyitaan harta benda hingga habis.
Prabu Danu Sangkalang memerintah selama 53 tahun, setelah meninggal jasadnya dikebumikan tidak jauh dari makam Eyang Panggung / Prabu Kujang Pilawa ayahnya, tepatnya di Kebon Coklat didesa Kutawaringin Kec. Mande Kab. Cianjur.
Prabu Danu Sangkalang memerintah selama 53 tahun, setelah meninggal jasadnya dikebumikan tidak jauh dari makam Eyang Panggung / Prabu Kujang Pilawa ayahnya, tepatnya di Kebon Coklat didesa Kutawaringin Kec. Mande Kab. Cianjur.
Oleh penduduk setempat dikenal dengan sebutan Eyang Gedug Halimun. Penggantinya adalah Pita Kumanajaya putra sulungnya.