Muhammadiyah mengalami kemunduran dengan menerima pengelolaan tambang dari Rezim Joko Widodo (Jokowi).
“Terlalu murah Organisasi Keagamaan sebesar Muhammadiyah harus berkubang lumpur dalam galian tambang hitam batubara. Kejahilan kadang berbingkai kepandaian. Berkemunduran disebut berkemajuan,” kata Pemerhati Politik dan Kebangsaan Rizal Fadhillah yang dikutip dari www.suaranasional.com, Senin (29/7/2024).
Kata Rizal, penerimaan tawaran usaha pertambangan jelas memancing fitnah. Ini bukan persoalan PP dan PWM sebagai peserta Konsolidasi Nasional semata tetapi Daerah, Cabang Ranting dan kader-kader di bawah.
“Betapa sulit dan beratnya “orang-orang bawah” menghadapi fitnah Muhammadiyah akibat pilihan tidak bijak, takut dan coba-coba. Bukan cara lazim Muhammadiyah dalam mengambil keputusan,” paparnya.
Pada sisi lain “Konsolidasi Nasional” tidak termasuk lembaga permusyawaratan yang ada dalam AD/ART Muhammadiyah. Karenanya sebenarnya tidak berhak mengambil keputusan strategis. Mungkin ini yang menyebabkan munculnya usulan agar Tanwir segera diadakan untuk menetapkan masalah sepenting dan segenting ini. Muhammadiyah tengah dibawa ke ruang pertaruhan.
Kader bukan tidak “sami’na wa atho’na” kepada PP tapi koreksi “amar ma’ruf nahi munkar” bahwa PP Muhammadiyah dikhawatirkan sedang tergoda dan tidak ajeg dalam mengemban amanah. Masukan berbagai pihak nampaknya tidak didengar dan didalami seksama, lebih pada formalitas untuk keputusan yang sudah dicanangkan.
“Suara sumbang atas keputusan Konsolidasi Nasional bermunculan. Muhammadiyah menjadi topik pembicaraan yang tidak konstruktif bahkan cenderung negatif. Sulit meredam kontra. Kontroversi berkonsekuensi pada cercaan, sementara pembuktian sukses bermain tambang itu membutuhkan waktu. Kerusakan mendahului pembuktian,” paparnya.
Sumber: suara
Foto: Kader Muhammadiyah melakukan demo menolak tambang (IST)