Pasar modal Indonesia mengalami tekanan signifikan dalam beberapa hari terakhir, yang ditandai dengan penurunan tajam harga saham. Menanggapi kondisi ini, Prof. Didik J. Rachbini, Guru Besar Ilmu Ekonomi dan Rektor Universitas Paramadina, menekankan bahwa faktor utama yang memicu gejolak tersebut adalah dinamika ekonomi politik.
" Pasar modal adalah alarm atau wake up call terhadap politik dan kebijakan pemerintah. Yang pertama dan terang benderang faktor saham yang terjungkal tidak lain adalah faktor politik. Yang harus dan wajib diingat oleh pemerintah, pemimpin dan pengambil keputusan lebih dari dua pertiga dari masalah ekonomi adalah politik, sebaliknya masalah terbesar dari politik adalah ekonomi.," ujar Prof. Didik dalam Rilis yang diterima oleh Redaksi, Rabu (19/3).
Menurutnya, umumnya kehadiran pemerintah baru disambut positif oleh pasar karena pemilihan umum dianggap sebagai penyegaran kepemimpinan. Namun, jika proses demokrasi diwarnai tekanan, politik uang, dan penyimpangan politik yang memanipulasi rakyat sehingga tidak benar-benar nyata dukungan riilnya. Tapi politik seperti ini adalah yang maksimal dihasilkan oleh suatu sistem pemerintahan dan rakyatnya, yang kemudian diuji dalam perjalanan kepemimpinan dan pemerintahan baru.
Prof. Didik menyoroti ISHG yang terjungkal ini tidak lain karena faktor politik dimana pasar tidak sreg dan menolak politik ekonomi dan kebijakan yang dilakukan selama ini. Penolakan itu terlihat dari modal yang hengkang dari Indonesia atau memilih instrumen lain yang lebih aman dari pengaruh politik.
“Jangan anggap remeh politik TNI yang diolah dan dimasak oleh segelintir orang di dalam kekuasaan tidak ada hubungan dengan masalah ekonomi. Demokrasi yang dibangun kembali pada masa reformasi setelah jatuh selama 30 tahun dianggap bisa tergelincir dan menjadi trigger kejatuhan demokrasi ke dalam etatisme, militerisme, dwi fungsi dan hal-hal lain yang merusak masa depan demokrasi. Ekosistem demokrasi sudah rusak semasa Jokowi dengan harapan bernas lagi dengan kepemimpinan baru tidak bisa dilihat kembali masa depannya. Faktor ketidakstabilan ini menjadi trigger pasar menolak dan modal pergi ke tempat lain.” Katanya.
IHSG tercatat turun lebih dari 11% dalam tiga bulan terakhir, dari 7.163 menjadi 6.146 saat ini. Salah satu penyebab utama yang disoroti adalah kebijakan ekonomi yang dinilai tidak terencana dengan baik, seperti pembentukan Danantara yang disahkan DPR dalam waktu singkat.
Menurutnya ide pembentukan Danantara bagus, bisa menjadi Temasek versi Indonesia. Tetapi jika kebijakan dieksekusi secara terburu-buru dan tanpa transparansi, dampaknya justru negatif. Terbukti, setelah Danantara diresmikan pada 24 Februari 2025, investor asing langsung menarik Rp 24 triliun, termasuk Rp 3,47 triliun dalam sehari.
“Apakah proses kebijakan kolektif pemerintah, DPR, kabinet seperti ini tidak diperhatikan? Kesalahan ini harus diperbaiki dengan datang ke pasar, bersahabat dengan pasar dan tidak lagi merasa kebijakan yang diluncurkan mendadak lalu akan diterima pasar.” ungkap Prof. Didik.
Lebih lanjut, ia mengingatkan bahwa kebijakan fiskal pemerintah juga mempengaruhi kepercayaan pasar. Defisit anggaran yang melebar, penerimaan pajak yang seret, serta pengelolaan APBN yang tidak transparan semakin memperburuk kondisi. Menurutnya, jika pemerintah terus mengabaikan sinyal dari pasar, maka kepercayaan investor akan semakin merosot.
Prof. Didik menegaskan bahwa pemerintah perlu segera memperbaiki kebijakan ekonomi dan membangun hubungan yang lebih baik dengan pasar.
"Pemerintah harus menunjukkan bahwa mereka ramah terhadap pasar, tidak membuat kebijakan secara mendadak, dan lebih transparan dalam mengambil keputusan. Jika kondisi ini dibiarkan, bukan tidak mungkin pasar akan memberikan 'vote of no confidence' terhadap pemerintah," ujarnya.
Kondisi fiskal Indonesia memburuk akibat kebijakan agresif yang kurang berbasis fakta, defisit anggaran melebar, dan penerimaan pajak seret. Kebijakan APBN diwarnai pola komando, bukan proses transparan, sehingga pasar kehilangan kepercayaan.
“Ketidakpercayaan terhadap APBN adalah juga penyebab dari ketidakpercayaan pasar terhadap kebijakan pemerintah. Masalah utang yang dikritik publik selalu mendapat reaksi yang “denials” dan meremehkan masukan-masukan teknokratis dari ekonomi, ahli dan pengamat. Defisit penerimaan APBN yang diumumkan terlambat juga memperjelas bahwa pengelolaan APBN tidak prudent.” Imbuhnya.
Sumber masalahnya menurut Prof. Didik sangat jelas dan terang benderang, tinggal pemerintah apakah akan membuka diri untuk perbaikan. “Jika tidak dampaknya jelas, kepercayaan pasar akan terus merosot, investor terganggu untuk investasi di Indonesia. Investor, baik asing maupun domestik, akan bersifat menunggu dan tidak akan investasi dulu, yang berarti investasi akan sementara atau berlanjut stagnan. Modal yang ada bisa keluar dan menggerus likuiditas, yang pada gilirannya akan menekan rupiah menekan nilai tukar rupiah.” Jelasnya.
“Sektor riil, terutama sektor industri untuk program hilirisasi sudah pasti akan mengkerut untuk mendapatkan dana. Akan terjadi keterbatasan akses pendanaan. Emiten yang berencana menggalang dana melalui pasar modal (IPO, rights issue) kemungkinan menunda aksi korporasi karena valuasi yang melemah. Sektor riil tidak akan mendapat kucuran dana yang cukup. Apakah bisa mencapai pertumbuhan 8 persen seperti janji kampanye? Lupakan dulu mimpi ini, pemerintah perlu bergandengan dan berbaik kebijakan dengan pasar.” Pungkasnya.