Walaupun Didukung Istana, Rakyat Banten tak Gentar Kalahkan Aguan dan Batalkan PIK 2 -->

Notification

×

Kategori Berita

Cari Berita

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Tag Terpopuler

Walaupun Didukung Istana, Rakyat Banten tak Gentar Kalahkan Aguan dan Batalkan PIK 2

Saturday, March 8, 2025 | March 08, 2025 WIB | 0 Views Last Updated 2025-03-08T14:51:05Z

Matahari belum tinggi ketika ratusan warga berkumpul di lapangan desa. Seorang nelayan tua yang rumahnya berdiri di tepi laut, maju ke depan. Suaranya tegas meskipun tubuhnya ringkih.

“Kita bukan melawan orang biasa,” katanya. “Kita melawan pengusaha yang punya akses ke Istana!”

Warga mengangguk. Mereka tahu siapa yang ia maksud: Sugianto Kusuma alias Aguan, taipan properti yang sejak lama menguasai megaproyek di berbagai daerah. Kali ini, proyeknya mengincar tanah mereka di Banten.

Laut yang selama ini menjadi sumber penghidupan akan dipagari. Lahan pertanian akan diubah menjadi kompleks mewah. Mereka dipaksa pindah dengan kompensasi yang tak masuk akal.

“Kalau kita diam, kita akan jadi buruh di tanah kita sendiri,” seru nelayan tua. “Atau lebih buruk lagi, kita akan terusir!”

Suasana lapangan semakin panas. Kaum ibu menggenggam erat tangan anak-anak mereka. Pemuda-pemuda desa mengepalkan tangan. Mereka tahu bahwa perlawanan ini bukan sekadar soal tanah, tapi juga soal harga diri.

Pejabat daerah datang dengan senyum lebar. Mereka berbicara tentang masa depan, investasi, dan kesejahteraan.

“Proyek ini akan membuka ribuan lapangan kerja!” kata seorang pejabat dengan suara meyakinkan.

Namun, di balik pidato-pidato itu, warga melihat realitas pahit. Mereka hanya diberi pilihan: pindah atau dipaksa pergi.

Bu Siti, seorang ibu tiga anak, menceritakan bagaimana tanah leluhurnya ditawar dengan harga yang tak masuk akal.

“Kami ini rakyat kecil, bukan batu yang bisa dipindahkan begitu saja,” katanya dengan mata berkaca-kaca.

Dokumen proyek mulai diperiksa.  Menemukan kejanggalan: izin lingkungan yang diproses kilat, konsultasi publik yang hanya formalitas, dan perusahaan-perusahaan cangkang yang diduga terkait dengan jaringan Aguan.

Semua orang tahu bahwa Aguan bukan pengusaha biasa. Sejak Orde Baru, namanya selalu muncul dalam proyek-proyek raksasa. Ia dekat dengan penguasa, dari satu rezim ke rezim berikutnya.

Di balik layar, tekanan politik mulai terasa. Aktivis mulai diteror. Polisi mulai menghalangi aksi-aksi protes.

Seorang jurnalis yang menulis tentang kasus ini mendapat ancaman. “Hati-hati, jangan bermain api,” pesan singkat itu berbunyi.

Namun, rakyat Banten tak gentar. Mereka tahu bahwa oligarki bisa membeli hukum, tapi mereka tak bisa membeli semangat perlawanan rakyat.

Di media sosial, gelombang protes mulai meluas. Tagar #BantenMelawan menjadi trending. Dari kampus hingga pesantren, suara-suara perlawanan semakin nyaring.

“Kita bukan hanya melawan Aguan,” kata seorang pemuda. “Kita melawan sistem yang selalu mengorbankan rakyat untuk kepentingan segelintir elite!”

Gugatan diajukan ke pengadilan. Sidang berlangsung panas. Pengacara perusahaan membawa dokumen yang berlapis-lapis.

“Kami sudah mengikuti prosedur!” klaim mereka.

Di luar ruang sidang, ribuan warga berdiri menunggu. Mereka membawa poster bertuliskan: “Tanah Kami, Hidup Kami”.

Pejabat daerah mulai panik. Media internasional mulai meliput. Tiba-tiba, proyek yang semula dianggap tak tergoyahkan mulai goyah.

Lobi-lobi politik bergerak. Ada tawaran kompromi. Tapi rakyat Banten menolak.

Kisah rakyat Banten melawan taipan seperti Aguan bukan hanya soal pertarungan tanah. Ini adalah gambaran tentang bagaimana negara semakin tunduk pada kepentingan segelintir elite.

Pemerintah selalu berbicara tentang investasi dan pertumbuhan ekonomi, tapi siapa yang sebenarnya menikmati semua itu?

Di berbagai daerah, tanah rakyat terus dirampas atas nama pembangunan. Petani kehilangan sawah, nelayan kehilangan laut, dan kaum miskin kota terusir demi gedung-gedung pencakar langit.

Banten hanya satu contoh. Di Kendari, warga melawan tambang nikel. Di Rempang, warga menolak digusur demi proyek Rempang Eco City. Di Jawa Tengah, petani Kendeng masih menentang pabrik semen yang merusak lingkungan.

Yang selalu terjadi sama: rakyat dipaksa minggir, sementara penguasa dan pengusaha berpesta pora.

Namun, perlawanan rakyat Banten membuktikan bahwa oligarki tidak selalu menang. Ketika rakyat bersatu, mereka bisa menggagalkan proyek yang didukung Istana.

Ini adalah pengingat bahwa hukum bisa dibeli, tapi solidaritas rakyat tidak.

Kemenangan ini bukan akhir, tapi awal dari perlawanan yang lebih besar.

Karena satu hal yang pasti: rakyat yang sadar haknya, tak akan pernah bisa dikalahkan!

Oleh: Menuk Wulandari
Aktivis Aliansi Rakyat Menggugat (ARM)
______________________________________
Disclaimer: Rubrik Kolom adalah media masyarakat dalam menyampaikan tulisannya. Setiap Opini di kanal ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab Penulis dan oposisicerdas.com terbebas dari segala macam bentuk tuntutan. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan ini maka sesuai dengan undang-undang pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawabnya kepada penulis Opini. Redaksi oposisicerdas.com akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang sebagai bagian dari hak jawab.

Iklan

×
Berita Terbaru Update
close