“Fasisme bukan tentang seragam, tapi tentang bagaimana kekuasaan disamarkan sebagai cinta tanah air.”
—
Satu Mei yang Membingungkan
Pada suatu siang 1 Mei 2025 di tengah riuhnya massa buruh, Prabowo Subianto berdiri gagah di atas stage orasi. Bendera merah berkibar. Ribuan buruh menyanyikan lagu Internationale—lagu legendaris para pekerja di seluruh dunia yang melawan tirani dan kapitalisme.
Yang mengejutkan: Prabowo turut bernyanyi.
“Bangunlah kaum tertindas, bangunlah kaum yang lapar dan hina…”
Massa bersorak. Seorang mantan jenderal, kini menyanyikan lagu perjuangan kelas? Aneh, tapi hangat. Ia disebut-sebut sebagai sosok baru dalam politik nasional—nasionalis kerakyatan, marhaenis.
Ia bicara soal kedaulatan pangan, berdikari, dan meniru Bung Karno.
Tapi waktu berjalan. Lagu itu berhenti. Nada-nada kerakyatan perlahan digantikan oleh simfoni kekuasaan.
—
Mussolini: Jejak yang Berulang
Di Eropa 1920-an, Benito Mussolini juga memulai dengan semangat revolusi. Ia adalah mantan serdadu yang kepincut gagasan Sosialisme Partai Sosialis Italia. Ia menulis penuh semangat untuk kelas buruh. Tapi setelah perang, ia berbelok. Ia membentuk partai fasis, memeluk nasionalisme militeristik, menghapus demokrasi, dan mengubah Italia menjadi negara satu suara: suara dirinya.
Ia tak datang langsung sebagai diktator. Ia datang sebagai penyelamat. Ia naik dengan dukungan rakyat, dan jatuh setelah membawa bangsanya ke jurang.
—
Prabowo dan Kekuasaan yang Berkembang
Hari ini, Prabowo bukan lagi mantan tentara yang bersama buruh menyanyikan Internationale. Ia adalah Menteri Pertahanan, dan Presiden. Ia tidak memenjarakan aktivis dalam pengap. Seperti Mussolini membungkam aktivis. Mereka diberikan jabatan kosmetik. Ia datang bukan dengan senjata, tapi dengan senyuman dan janji tentang “keberlanjutan pembangunan”. Ia merangkul semua partai, mengisi kabinet dengan semua warna, dan mengajak oposisi masuk dalam pelukan kekuasaan.
Tak ada yang dibubarkan. Tak ada parlemen yang dibakar. Tapi semua terasa satu suara. Semua merasa harus mendukung. Yang berbeda dianggap mengganggu. Yang bertanya dianggap tak tahu diri.
Sebuah kutipan muncul dari masa lalu:
“Semua dalam negara. Tidak ada yang di luar negara. Tidak ada yang melawan negara.”
— Benito Mussolini
—
Janji, Baliho, dan Buzzer
Dulu Prabowo berjanji akan mengejar koruptor hingga ke Antartika.
Sekarang, korupsi tak harus lari ke kutub. Ia duduk tenang di ruang-ruang kekuasaan, berdampingan dengan jabatan.
“Saya akan kejar koruptor sampai ke Antartika,” katanya.
Tapi kenyataannya:
“Saya biarkan korupsi di antara kita.”
Yang kita hadapi bukan sekadar ketidakjujuran. Kita menghadapi ilusi moral. Di mana kata-kata dipakai bukan untuk dijalankan, tapi untuk didengungkan. Kata Mark Fisher, ini yang disebutnya sebagai hauntology—masa depan yang dijanjikan tapi tak pernah datang, dan kini menghantui masa kini.
—
Demokrasi Simulasi
Prabowo tidak membakar demokrasi. Tapi ia membuatnya menjadi teater. Semua partai jadi koalisi. Semua kritik jadi bisik-bisik. Semua oposisi berubah jadi “mari kita dukung bersama demi bangsa.”
Inilah demokrasi ala abad 21. Seperti kata Slavoj Žižek, kita hidup di zaman di mana ideologi tidak lagi disembunyikan—tapi ditertawakan. Dan sayangnya, rakyat juga diajak menertawakannya bersama.
—
Mussolini Tanpa Seragam
Prabowo tidak sedang menjadi Mussolini. Tapi kekuasaan punya pola.
Dan sejarah, seperti kata Marx, suka mengulang. Dulu dalam tragedi, kini dalam parodi. Dulu dengan sepatu lars, kini dengan aplikasi dan konferensi pers.
Ia tak lagi menyanyikan Internationale. Ia kini memimpin orkestra kekuasaan. Dengan partai, buzzer, dan anggaran negara sebagai alat musiknya.
“The future belongs to ghosts.”
— Jacques Derrida
Dan salah satu hantu yang kini duduk di Istana adalah masa depan yang tak pernah datang. Masa depan yang dulu dijanjikan. Dan kini menjelma kekuasaan yang menertawai kita semua.
—
Firman Tendry Masengi adalah advokat, penulis, mantan wartawan, dan pengamat politik. Ia aktif menulis tentang hubungan antara kekuasaan, ideologi, dan filsafat politik dalam konteks Indonesia kontemporer.
Oleh: Firman Tendry Masengi
______________________________________
Disclaimer: Rubrik Kolom adalah media masyarakat dalam menyampaikan tulisannya. Setiap Opini di kanal ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab Penulis dan oposisicerdas.com terbebas dari segala macam bentuk tuntutan. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan ini maka sesuai dengan undang-undang pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawabnya kepada penulis Opini. Redaksi oposisicerdas.com akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang sebagai bagian dari hak jawab.