Wanheartnews.Com - Masyarakat kini harus menyiapkan dana pribadi saat menggunakan asuransi kesehatan. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) telah menerbitkan Surat Edaran Nomor 7/SEOJK.05/2025 yang mewajibkan peserta asuransi menanggung sebagian biaya berobat melalui skema co-payment atau pembagian risiko.
Aturan ini berlaku mulai 1 Januari 2026, bagi semua produk asuransi kesehatan, baik konvensional maupun syariah yang menggunakan skema ganti rugi (indemnity) dan pelayanan kesehatan terkelola (managed care). Dengan ketentuan ini, peserta asuransi tetap harus membayar minimal 10 persen dari total biaya klaim, meski seluruhnya ditanggung dalam polis.
“Produk Asuransi Kesehatan harus menerapkan pembagian risiko (co-payment) yang ditanggung oleh Pemegang Polis, Tertanggung atau Peserta paling sedikit sebesar 10 persen (sepuluh persen) dari total pengajuan klaim,” demikian tertulis dalam beleid OJK tersebut, dikutip Kamis (5/6)
Besaran yang harus dibayar peserta juga dibatasi maksimal Rp 300.000 untuk rawat jalan dan Rp 3 juta untuk rawat inap dalam satu kali klaim. Meski begitu, batas ini bisa lebih tinggi jika disepakati antara perusahaan asuransi dan pemegang polis serta tercantum dalam polis.
“Untuk rawat jalan Rp 300.000 per pengajuan klaim dan untuk rawat inap Rp 3.000.000 per pengajuan klaim,” tulis aturan itu.
Kewajiban membayar sebagian klaim ini, menurut OJK, merupakan bagian dari penerapan prinsip kehati-hatian dan manajemen risiko. Tujuannya adalah agar perusahaan asuransi lebih sehat secara keuangan, serta mencegah praktik over-klaim yang bisa membebani sistem.
Tak hanya itu, perusahaan asuransi kini juga memiliki kewenangan untuk menyesuaikan premi berdasarkan riwayat klaim dan inflasi kesehatan. Artinya, premi bisa naik saat perpanjangan polis, atau bahkan di luar periode tersebut jika disetujui oleh peserta.
“Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, dan Unit Syariah pada Perusahaan Asuransi memiliki kewenangan untuk meninjau dan menetapkan Premi dan Kontribusi kembali (repricing) pada saat perpanjangan Polis Asuransi berdasarkan riwayat klaim Pemegang Polis, Tertanggung, atau Peserta dan/atau tingkat inflasi di bidang kesehatan,” bunyi beleid itu.
Namun, ada pengecualian untuk produk asuransi mikro yang ditujukan bagi masyarakat berpenghasilan rendah. Dalam produk ini, pembagian risiko tidak diberlakukan.
Langkah OJK ini menandai perubahan penting dalam praktik asuransi kesehatan di Indonesia. Meski tujuannya memperkuat keberlanjutan industri, aturan ini berpotensi memicu kekhawatiran masyarakat yang selama ini mengandalkan asuransi sebagai jaminan penuh dalam biaya kesehatan.
Sumber: kumparan