Oleh : Gratia Wing Artha,sosiolog muda dari Unair, kini dosen Fisip Universitas Nasional
OPINI- Keberagaman adalah bagian yang tidak terpisahkan dari fitrah manusia. Manusia pada dasarnya tidak dapat mengingkari kebenaran lantaran melalui keberagaman manusia belajar untuk melihat “Eksistensi Tuhan” melalui dinamika perbedaan umat manusia. Tanpa sadar, manusia akan terus belajar untuk menjadi beragam, tidak peduli ia mengaku. sebagai seorang “individualis” yang mengakui eksistensi diri dan mengingkari keberagaman identitas yang salah satunya keberagaman agama, akan ada saatnya ia akan menemukan dirinya sebagai makhluk yang difitrahkan untuk hidup beragam. Dalam alam sadar pikiran setiap individu sudah menyadari bahwa melalui keberagaman Ia akan menemukan makna dirinya sebagai “ Manusia Sejati”. Makna keberagaman sejati sederhanannya tatkala kita sebagai individu menerima setiap perbedaan yang menyangkut soal beragam identitas, yang salah satunya adalah identitas beragama hingga mampu secara sadar menjadi bagian dari jaringan keberagaman agama dan kepercayaan tersebut
Pengaruh terbesar yang membuat saya percaya dan yakin bahwa manusia harus menerima keberagaman tatkala saya melihat bahwa menusia adalah “Pantulan Cahaya Tuhan”. Dengan memanusiakan-manusia seorang individu sudah memahami esensi dari “Bertuhan” secara mendalam serta menemukan “Makna Bertuhan” ketika bercakap, berdiskusi dan memahami gagasan dan kepercayaan yang berbeda dari setiap umat manusia. Pada dasarnya sebagaimana yang disampaikan oleh Prof. Komaruddin Hidayat dalam buku “Imajinasi Islam”, sejak usia 15 tahun saya berpandangan ajaran agama selain terkandung di dalam kitab suci juga dapat diamati melalui lingkungan sosial. Tatkala kita berinteraksi dan berbuat baik terhadap sesama tanpa melihat ‘identitas keagamaannya” kita telah bersentuhan dengan Tuhan melalui kehidupan sosial. Keberagama ialah jalan untuk setiap individu menemukan dirinya sebagai “Hamba” sekaligus sebagai “Khalifah’.
Sebagai hamba setiap individu harus patuh pada garis-ajaran kebaikan yang diperintahkan oleh Tuhan dan sebagai khalifah manusia mempunyai cara untuk mendekatkan diri serta menjalankan perintah Tuhan, salah satunya dengan menempatkan manusia pada koridor/ruang kemanusiaan dalam kehidupan sosial. Menemukan Tuhan pada dasarnya tidak sulit karena sebagaimana yang terkandung dalam ajaran sufisme bahwa “ Tuhan bisa saja berada di tengah-tengah keramaian lautan manusia” dan untuk menemukan Tuhan kita harus melakukan tugas kita sebagai manusia untuk terus bermanfaat bagi sesama manusia dan lingkungan.
Sederhananya saya melihat bahwa Gus Dur telah memberikan refleksi filosofis pada kita bahwa “Tuhan” adalah persepsi dari manusia dalam memahami sesama manusia. Gus Dur memberikan pemahaman pada kita sebagai makhluk sosial dan makhluk beragama untuk memahami agama dalam konteks sosial dan kemanusiaan.
Mencintai manusia pada dasarnya sama dengan mencintai Tuhan dan menyakiti sesama manusia sama artinya dengan menyakiti Tuhan. Dari gagasan ini kita dapat memahami bahwa agama pada dasarnya mengajarkan praktik untuk memperlakukan sesama manusia dalam konteksnya sebagai sesama manusia. Pada dasarnya agama adalah identitas, melalui identitas yang berbeda manusia belajar untuk memahami manusia lain serta menghormati tiap-tiap kepercayaan sebagai bentuk “Kesalehan Sosial”. Selama ini banyak individu yang kurang memperhatikan aspek “Kesalehan Sosial” dan hanya menentingkan “Kesalehan Spritual”. Padahal tanpa adanya kesalehan sosial akan menjadikan individu menjadi cenderung egois mempertahankan kebenaran yang diyakini oleh individu/kelompok, sehingga sifatnya sangat ekslusif dan kurang mementingkan nilai-nilai keberagaman/toleransi. Melalui pemahaman “Kesalehan Sosial” Gus Dur mengajak kita untuk terus menjaga “Kemanusiaan Kita” dengan terus memanusiakan orang-orang yang kita temui tanpa memandang “Apa Agamanya” dan “Bagaimana Tingkah Lakunya”.
Dari refleksi Gus Dur kita dapat belajar bahwa puncak dari kebaikan beragama ialah kemanusiaan dan mencintai perdamaian. Melalui keberagaman kita dapat memahami bahwa esensi dari “Bertuhan” ialah mencintai berbagai perbedaan dalam agama dan kepercayaan sebagai jalan untuk menempuh kedekatan dengan “Sang Pencipta” karena pada hakikatnya Tuhan hadir dalam setiap pikiran kita yang mencoba untuk memahami keberagaman sebagai refleksi untuk melihat kekuasaan dan kebijaksaan dari Tuhan.
Individu yang mengamalkan ajaran agama secara baik dan tulus dapat dilihat dari caranya memperlaukan sesama manusia dan melihat sesama manusia sederajat tanpa memandang status sosial. Hal ini karena Tuhan dan para utusan/orang-orang suci mengajarkan bahwa manusia pada dasarnya sama, yang membadakannya adalah tingkat perbuatan baik kepada sesama manusia dan nilai spritualitasnya.
Mudahnya Tuhan bisa kita rasakan bila kita berbuat baik pada sesama manusia, tanpa melihat “seragam/atribut keagamaan dan identitas sosial lain yang kompleks. Jika individu mampu membuka pikirannya untuk menerima keberagaman serta memanusiakan sesama manusia itu artinya ia sudah sangat dekat dengan pemahaman sejati akan “Bertuhan”. Tuhan pada dasarnya ada dan hadir dalam setiap tindakan serta kehidupan sehari-hari seorang hamba, tanpa membatasi “Apa Agama yang dianut oleh hamba tersebut!”. Perlu diingat bahwasannya “Kebertuhanan yang sejati diukur melalui seberapa terbukanya individu dalam menerima keberagaman dan menjadikan diri dapat merasakan kehadiran Tuhan di tengah lautan keberagaman umat manusia”.
Setiap saya melihat keramaian manusia dan setiap saya berdialog dengan individu dan kelompok sosial yang beragama. Saya menemukan bahwa Tuhan hadir dalam setiap tindakan dan kata-kata “Mereka”. Pengalaman sosial yang saya alami ketika berjumpa dengan individ/kelompok dengan pemahaman yang berbeda dan kelompok marginal yang terdiskriminasi dari struktur sosial memberikan refleksi saya bahwa “ Tuhan hadir ketika kita memihak dan menyapa setiap individu/kelompok yang selama ini dianggap “aneh-menyimpang”. Hakikat keberadaan Tuhan saya rasakan sangat dekat saat saya menjadi “Manusia Seutuhnya” ketika berbicara dengan sesama manusia tanpa memandang atribut/identitas sosial : “Gender-Seksualitas, Aliran Keagamaan/Kepercayaan, dan segala identitas yang kompleks.
Saya berkali-kali merasakan Tuhan hadir ketika saya berinteraksi dengan seorang petani di Ngawi, saat saya berinteraksi dengan panyandang autisme saat mengajar di Sekolah Luar Biasa (SLB) dan Tuhan begitu dekat ketika para waria yang juga santri di Ponpes Waria Al-Fattah, Yogyakarta membaca Al-Qur’an dengan suara merdu dan sholat lima waktu dengan konsisten. Sama halnya, ketika Tuhan membimbing melalui pertemuan dengan Romo Greg Soetomo, mendiang Ibu Sinta Ratri dari pengasuh Ponpes Waria Al-Fattah, Yogyakarta, berdialog dengan dengan K.H. Abdul Hakim Mahfudz dan K.H. Abdul Halim Mahfudz di Jombang serta melalui pertemuan serta dialog dengan berbagai golongan sosial (lintas iman dan ragam identitas) menjadikan saya bahwa “Tuhan mengajarkan dan menuntun saya untuk terus belajar memanusiaka-manusia tanpa adanya sekat-sekat sosial”.
Membuka pikiran, ketika kita enggan membuka pikiran dan mau mengakui perbedaan itu artinya kita menolak esensi dari Tuhan yang hadir pada setiap makhluknya. Sama halnya ketika kita mendiskriminasi dan memberikan stigma pada individu/kelompok yang berbeda dapat dipastikan kita menutup jendela dan pintu raga dan jiwa kita untuk Tuhan masuk dan hadir dalam pengalaman batin serta sosial. Sering terjadi keangkuhan menyebar saat kita merasa lebih tinggi dan lebih pandai dari yang lain.
Padahal Tuhan mengajarkan kita untuk terus membuka pikiran dan belajar dari semua golongan tanpa memandang status sosial. Dari sinilah kita sebagai hamba Tuhan dititahkan untuk membuka pikiran dan hati untuk terus belajar melalui proses belajar kita akan menjadi lebih bijak. Melalui kebijaksanaan yang ditempa melalui proses kehidupan dan interaksi dengan semua golongan sosial, kita akan mengalami proses untuk menjadi “ Manusia Paripurna yang dapat memperlakukan manusia sebagai manusia tanpa melihat identitas agamanya, sebagaimana Gus Dur yang terus belajar dan berjumpa dengan segala golongan manusia hingga menjadikan Ia menjadi “Manusia Paripurna” dengan pikiran yang senantiasa menerima keberagaman.
Saya sangat percaya bahwa nilai spiritual dan humanisme adalah pengikat manusia untuk tetap berada pada “koridor kemanusiaan”. Melalui pemahaman tentang mencintai sesama sebagai praktik spiritual akan memberikan rangsangan pada setiap pikiran serta batin individu untuk tidak terfikir menindas yang lemah. Dari sinilah kemanusiaan/humanisme menjadi inti dari praktik spritualisme yang bertumpu pada humanisme akan menjadikan kehidupan sosial menjadi lebih dekat dengan “spiritualisme sosial”.
Humanisme adalah nyawa dari spiritualisme, spritulilisme tanpa diimbangi dengan humanisme akan menjadikan spritualisme akan menjadi senyap. Para “Guru Bangsa” sebagaimana Gus Dur, Buya Syafii Maarif dan Cak Nur telah mencontohkan bahwa seorang yang dapat dikatakan spritualis harus punya fondasi humanisme yang kuat”. Dari sinilah akan lahirnya praktik yang disebut “Spiritualisme Sosial”. Muara dari spritualisme sosial adalah ketika kita memandang ketaatan dalam beribadah juga harus mencerminkan tindakan nyata mau terbuka dengan adanya keberagaman dan mampu untuk berbuat baik terhadap sesama manusia tanpa memandang asal-usulnya. Pada dasarnya agama dan para orang suci selalu menekankan bahwa “Membantu Sesama Manusia Sama Artinya Dengan Kita Memuliakan Tuhan”.
Saya berfikir sederhana spiritualisme yang sejati akan membawa setiap individu/kelompok untuk menemukan kesadaran untuk berbuat baik pada sesama. Pemahaman dari spiritualisme yang matang ketika individu menyadari bahwasannya “ kita harus menerima keberagama, yang salah satunya keberagaman agama sebagai fitrah dan menempatkan posisi sebagai manusia sejati. Hakikat dari manusia sejati ialah dapat memahami “ Tuhan hadir ketika kita mau menjadi sahabat bagi sesama manusia tanpa melihat perbedaan/atribut keagamaan”.
Tetap menempatkan posisi sebagai bagian dari makhluk sosial akan memberikan pemahaman pada diri kita bahwa Tuhan hadir saat kita mau memahami, mempelajari dan berdialog lintas agama sebagai sarana untuk menemukan Tuhan yang hadir ketika kita mampu membuka pikiran dan hati untuk belajar dan merefleksikan iman sejati melalui praktik harmoni sosial. Pada dasarnya makna dari iman ialah ketika kita percaya bahwa Tuhan mengajarkan untuk berbuat baik kepada semua manusia tanpa memandang identitas keagamaan dan identitas sosial lainnya. Pada dasarnya kemanusiaan adalah nyawa dari agama.
Saya percaya melalui dialog lintas iman dapat membuka pikiran saya dan kelompok, hal ini lantaran semakin terbuka pikiran kita akan keberagaman kita akan menjadi “orang shaleh” baik secara spritual maupun sosial. Dalam hal ini pemahaman individu maupun kelompok untuk terus membuka percakapan lintas iman akan memberikan sumbangan untuk kehidupan beragama yang harmonis. Dalam hal ini dialog lintas sebagai ruang publik bagi semua kalangan yang ingin belajar mengenal perbedaan sebagai sarana untuk belajar lantaran Tuhan menyerukan kepada manusia untuk belajar/berdialog satu dengan yang lain untuk dapat memahami setiap perbedaan serta menghormati satu dengan yang lainnya. Saya sangat berharap dialog lintas iman dapat senantiasa hadir sebagai ruang merawat dan meruwat ruang yang memfasilitasi terwujudnya “ Persatuan dan Toleransi Beragama “ di Indonesia yang kita cintai ini.